Mohon tunggu...
Hilman I.N
Hilman I.N Mohon Tunggu... ASN

Si bodoh yang tak kunjung pandai

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Pariwisata dan Esensi Keaslian: Mengapa Kita Tidak Perlu Menciptakan Destinasi Palsu

2 Februari 2025   07:00 Diperbarui: 25 Februari 2025   23:14 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Desa di Baduy, dokumentasi pribadi

Di dunia yang semakin cepat berubah, di mana segala hal dapat direplikasi dan dikomersialisasi, kita sering lupa bahwa keindahan sejati bukanlah sesuatu yang dibuat-buat, melainkan sesuatu yang tumbuh secara alami. Pariwisata, pada esensinya, bukanlah sekadar tentang mendatangi tempat-tempat indah atau mencoba wahana buatan. Lebih dari itu, ia adalah pengalaman, interaksi, dan pemahaman tentang cara hidup yang berbeda dari keseharian kita.

Kita bisa bertanya, mengapa orang berbondong-bondong ke Swiss untuk menikmati pegunungan yang bersalju? Apakah pemandangan itu sengaja dikonstruksi untuk wisatawan? Tidak. Alam Swiss memang seperti itu, dan penduduknya memang terbiasa hidup di antara gunung-gunung megah itu. Begitu pula dengan Paris. Orang datang ke sana bukan hanya untuk melihat Menara Eiffel, melainkan juga untuk merasakan atmosfer yang telah tertanam dalam budaya mereka, menghabiskan waktu di kafe dengan kopi dan roti, berbicara dengan tenang, mengamati lalu lalang kehidupan.

Di Indonesia, kita memiliki banyak contoh serupa. Masyarakat Baduy di Banten, misalnya, tidak pernah berusaha menjadikan diri mereka "objek wisata." Mereka hidup dengan cara mereka sendiri, menjaga kesederhanaan, menghindari teknologi modern, dan menjalani keseharian sebagaimana nenek moyang mereka dahulu. Justru karena mereka tidak dibuat-buat, banyak orang datang ingin melihat dan memahami kehidupan mereka. Keunikan itulah yang menjadi daya tarik pariwisata sejati, hal yang tidak bisa ditemukan dalam keseharian pengunjungnya.

Namun, yang terjadi di banyak tempat adalah sebaliknya. Pariwisata sering kali dikembangkan dengan pendekatan yang seragam, bahkan artifisial. Konsep "destinasi wisata" yang diterapkan di banyak daerah justru menjauh dari nilai-nilai keasliannya sendiri. Lihat saja, berapa banyak tempat wisata yang didesain agar terlihat seperti miniatur negara lain? Seolah-olah nilai dari sebuah tempat hanya bisa dihargai jika menyerupai sesuatu yang lebih populer di luar negeri. Kita sering melihat desa-desa yang dipaksa berubah menjadi "desa wisata" dengan dekorasi yang berlebihan, seolah-olah keindahan mereka sebelumnya tidak cukup menarik.

Lebih jauh lagi, dalam pikiran sebagian orang, wisata identik dengan wahana permainan buatan, taman hiburan, atau pusat perbelanjaan besar. Tidak ada yang salah dengan hiburan semacam itu, tetapi jika seluruh konsep pariwisata terjebak pada model ini, maka kita sedang kehilangan sesuatu yang lebih mendalam. Kita tidak lagi menawarkan pengalaman yang autentik, melainkan hanya hiburan instan yang tidak meninggalkan kesan mendalam.

Dampaknya tidak hanya pada pengalaman wisatawan, tetapi juga pada lingkungan dan masyarakat setempat. Betapa banyak hutan yang ditebang demi membangun resor mewah? Betapa banyak lahan pertanian yang berubah menjadi kompleks wisata tanpa memperhitungkan dampaknya terhadap masyarakat yang telah lama hidup di sana? Ironisnya, wisata yang awalnya dimaksudkan untuk "menikmati alam" justru sering kali merusak alam itu sendiri.

Di sisi lain, ada pula model pariwisata yang tumbuh secara lebih alami dan berkelanjutan. Bali, misalnya, tidak kehilangan daya tariknya karena mempertahankan banyak aspek kehidupan tradisionalnya, upacara keagamaan, arsitektur khas, serta nilai-nilai komunitas yang tetap dijaga meski modernisasi terus berjalan. Wisatawan datang ke sana bukan hanya karena keindahan pantainya, tetapi juga untuk mengalami kebudayaan yang terasa hidup dan nyata.

Kita harus kembali bertanya: untuk siapa pariwisata dikembangkan? Jika tujuannya hanya untuk memenuhi ekspektasi wisatawan tanpa mempertimbangkan keunikan dan keseimbangan lingkungan, maka yang terjadi hanyalah eksploitasi, bukan pengembangan. Pariwisata yang baik adalah yang tumbuh dari keseharian masyarakat setempat, bukan yang memaksa mereka mengubah diri hanya demi menjadi tontonan.

Kita tidak perlu mengorbankan hutan untuk membangun taman bermain yang bisa ditemukan di mana saja. Kita tidak perlu membangun replika kota Eropa hanya untuk menarik perhatian wisatawan. Yang kita butuhkan adalah memahami bahwa keunikan sejati datang dari hal-hal yang tidak bisa direplikasi, budaya, kebiasaan, dan lingkungan yang tetap dijaga bukan karena tuntutan pasar, melainkan karena memang itulah cara hidup yang dijalani.

Dalam dunia di mana segalanya bisa direkayasa, keaslian menjadi barang langka. Justru karena itu, pariwisata yang bertumpu pada nilai-nilai asli suatu tempat akan semakin bernilai. Bukan dengan menciptakan sesuatu yang baru dan artifisial, melainkan dengan merawat dan menghargai apa yang sudah ada. Jika kita ingin pariwisata yang berkelanjutan, maka kita harus mulai dari hal yang paling sederhana, menjadi diri sendiri, dan membiarkan orang lain datang untuk melihat keindahan yang sesungguhnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun