Mohon tunggu...
Noer Fajrieansyah
Noer Fajrieansyah Mohon Tunggu... -

Ketua Umum PB HMI 2010-2012

Selanjutnya

Tutup

Politik

(Jangan) Terjebak Politik Transaksional

11 Maret 2011   10:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:52 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12998408261441606224

Harold D. Laswel dalam definisi Politiknya mengatakan, bahwa Politic is who get what when and how. Sebuah thesa politik, yang mengiring perspektif banyak orang tentang arti dan fungsi politik yang hanya berada dalam domain transaksional. Perspektif tersebut paling tidak saat ini tergambarkan dalam wacana reshufle kabinet SBY yang gagal di laksanakan, pasca pecah kongsinya Koalisi Setgab dalam pertarungan Hak Angket di DPR beberapa waktu yang lalu. Walaupun ancaman Reshufle kabinet oleh SBY kepada dua partai yang dianggapnya Pembelot (Baca: Golkar dan PKS) dalam issue hak angket, hanyalah gertakan Kosong, sebab SBY memilih berdamai dengan Kedua Partai Tersebut, namun ancaman reshufle membuat wajah pemerintahan SBY tak ubahnya dagangan politik seperti kata harold D. Laswel di atas. Dalam berbagai berita, Kamis (10/3), Presiden SBY berbicara tentang isu reshuffle dan koalisi saat membuka rapat kabinet di kantor presiden, Jl Medan Merdeka Utara, Jakarta. ada dua hal yang di dijelaskan oleh SBY kepada jajaran kabinetnya. Pertama Menyangkut Issue Reshufle, dan Kedua tentang Koalisi setelah Reshufle dilaksanakan (Sumber; Detik.Com). Secara gamblang SBY menjelaskan bahwa belum pernah kebijakan reshufle itu resmi keluar dari mulutnya, apalagi menyangkut waktu, kapan dan di mana harus melakukan reshufle. Alasanya reshufle bisa dilakukan manakalah ada alasan yang urgen tentang kinerja menteri, dan tentu rujukannya adalah kontrak Kinerja dan Pakta Integritas. Dia melanjutkan bahwa reshufle bukanlah tujuan dari jalanya kabinet di pemerintahan, reshufle hanyalah sarana untuk mengefektifkan kerja-kerja pemerintahan. Lebih dari itu dia pun mengkritik anggapan partai politik bahwa reshufle hanyalah ajang gonta-ganti kabinet, jika gilran ganti menteri telah datang. Penjelasan SBY tersebut seperti langkah raja menyelamatkn diri saat terancam di skak dalam permainan catur. Saat tertekan oleh desakan issue reshufle dari berbagai interest Grup, SBY memilih opsi berdamai atau memaafkan Golkar dan PKS. Terus mempertahankan dua partai tersebut sambil mungkin berharap mereka bisa segera "Insyaf" dengan kekhilafan yang mereka lakukan. (Jangan) Terjebak Politik Transaksional Logika politik SBY yang membatalkan reshufle, jika di baca secara lurus, tanpa tendensi apapun, bisa dikatakan sebagai good will seorang Kepala Negara untuk tetap ingin menstabilkan kinerja Kabinet yang di pimpinya, paling tidak sampai waktu reshufle kabinet benar-benar tiba. Dengan segala hak perogratifnya, selaku Kepala Negara, langkah Presiden tersebut menunjukan bahwa dirinya tak ingin di dikte oleh siapapun, atau tak ingin bertransaksi politik dengan partai apapun. Disitulah niat SBY, bagi saya benar di satu pihak tapi tidak fair di pihak lain. Dikatakan Benar, karena SBY paham soal sistem Presidensial, yang didalamnya tidak mengatur soal koalisi ataupun Opisisi. Presiden dipilih langsung oleh rakyat - Vox Populi Vox Dei, yang dikontrol oleh DPR, namun tidak bisa di jatuhkan oleh DPR. Seperti penjelasan Rod Hague, Bahwa Pemerintahan Presidensial terdiri dari tiga Unsur: 1. Presiden yang dipilih rakyat memimpin pemerintahan dan mengangkat pejabat-pejabat pemerintahan yang terkait. 2. Presiden dengan Dewan Perwakilan memiliki masa jabatan yang tetap, tidak bisa saling menjatuhkan. 3. Tidak ada status yang tumpang tindih antara badan eksekutif dan badan legislatif. Jadi reshufle bukan karena dasar koalisi ataupun oposisi, serta paksaan berbagai pihak. Tetapi keinginan murni presiden. Olehnya itu, Pemahaman tentang sistem presidensial tersebutlah, yang membuat langkah presiden logis, demi menenangkan Pshycologi para Menteri (Baca: Golkar dan PKS) yang panik akibat issue reshufle, agar tetap bekerja sesuai tugasnya di kementerian. Walaupun memang ketenangan ini hanya bersifat sementara, menunggu timing evaluasi kabinet tiba. Sayangngya Di lain pihak, langkah tersebut justru makin menenggelamkan figuritas SBY sebagai Pemimpin yang tegas dan berani mengambil resiko dalam memberikan Punishment kepada kedua partai yang membelot. Kalkulasi berlebihan SBY terhadap kekuatan parlemen yang dominant jika nantinya mengeluarkan Golkar dan PKS, karena akan bertambahnya kekuatan Oposisi di parlemen, membuat legitimasi moril SBY kecil di mata para senator. walaupun toh tetap kuat secara politik dengan tetap didukung Golkar dan PKS. Logika ragu-ragu SBY, bukan tidak mungkin akan di manfaatkan oleh partai politik untuk terus mengerogoti dan menakut-nakuti kekuasaan pemerintah di parlemen. Ambivalensi partai akan terus menggila, sebab main "dua kaki" pun tak masalah. Ancaman reshufle, bisa diselesaikan dengan kompromi politik. Alhasil transaksional politik akan terus terjadi. Gertak di parlemen bisa berbuah atau bertambah kursi Kabinet. Efektifitas Reshufle Seperti Penjelasan Rod Hague, bahwa sistem presidensial tidak memungkinkan seorang presiden dijatuhkan oleh DPR atau parlemen, karena memiliki posisi yang relatif kuat dari rakyat, lewat pemilihan langsung, harusnya bisa membuat seorang SBY berani melakukan reshufle terhadap para kabinetnya, baik itu para kabinet dari kalangan partai ataupun dari kalangan profesional atau teknokrat. Asalkan indikator reshufle kabinet yang dilaksanakan tidaklah piur kekecawaan politik semata, namun di dorong oleh will untuk memperbaiki kerja kabinet yang di anggap tidak maksimal dalam bekerja. Dalam catatan kami, sesuai dengan laporan evaluasi kerja Menteri yang disampaikan oleh Kuntoro Mangkusubroto, Ketua Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) kepada Presiden, Januari 2011. Ada , sekitar 10 persen dari 47 kementerian dan lembaga Pemerintah memiliki rapor merah dalam bekerja. Mereka adalah Menkominfo, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Hukum dan HAM, Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Nah laporan tersebut, sebenarnya bisa di gunakan Presiden untuk Mereshufle para menteri serta struktrur lembaga kementeriannya, seperti Itjen, Setjen, dan Dirjen dan ketua lembaga pemerintahan yang minim prestasi, karena selain momentum issuenya dapat, reshufle bisa berguna untuk menunjukan objektifitas SBY dengan dasar efektifitas dan efisiensi kerja bawahannya kepada publik sesuai rujukan evaluasi UKP4. Namun apa hendak dikata, issue reshufle kabinet telah dijawab dengan dingin oleh SBY sendiri. Reshufle pun batal di laksanakan dengan alibi, menjaga stabilitas pemerintahan dan sinergitas kerja para menteri. Alhasil Golkar dan PKS tetap bercokol di pemerintahan atau gagal jadi opisisi. Gerindra hanya mendapatkan "Angin Surga" kursi menteri, sedangkan Tekanan dan dukungan publik, tak mampu mengangkat Nyali SBY untuk mereshufle kabinetnya. SBY tenang-tenang saja, Kompromi dan transaksi Politik terus dilakukan. Wallahualam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun