Sejak awal kita masuk dunia kerja, entah disadari atau tidak, kita pelan-pelan diajarkan untuk menjunjung tinggi yang namanya kerja keras.
Bahkan seringnya, bukan hanya kerja keras, tapi juga loyalitas yang kadang kebablasan.
Kita diminta stay lebih lama di kantor demi mengejar deadline, dianggap wajar kalau balas email malam-malam atau saat libur, dan kalau bisa, cuti ditahan-tahan dulu biar kelihatan “dedikasi”-nya.
Semakin kita mengorbankan waktu pribadi, semakin kita dipuji. Padahal ya, tidak semua pengorbanan itu dibalas dengan apresiasi yang sepadan.
Realitanya, budaya kerja kita sering kali memaksa orang untuk menomorsatukan pekerjaan di atas segalanya—bahkan di atas kesehatan sendiri.
Kita bangga kalau bisa multitasking sambil sakit, atau tetap kerja walau sedang stres berat.
Padahal, tubuh dan pikiran punya batasnya. Tapi sayangnya, budaya “kerja keras tanpa batas” ini sudah telanjur dianggap normal.
Bahkan kadang, kalau kita bilang butuh istirahat, malah dinilai kurang semangat atau tidak totalitas.
Pertanyaannya, apakah benar semua itu layak? Apakah kebangetan loyal ke perusahaan itu memang sepadan dengan yang kita korbankan?
Atau jangan-jangan, kita hanya sedang ditipu oleh glorifikasi kerja keras yang tidak sehat?