Istilah "kantor adalah keluarga" sudah tidak asing lagi di telinga kita, ini adalah konsep yang sering dipakai perusahaan untuk menciptakan suasana kerja yang akrab dan nyaman.Â
Ide dasarnya memang bagus, agar karyawan merasa dihargai, punya rasa memiliki, dan saling mendukung layaknya anggota keluarga.Â
Dengan suasana seperti ini, diharapkan kerja jadi lebih menyenangkan, produktivitas meningkat, dan loyalitas karyawan terjaga. Â
Di sisi positifnya, kantor yang menerapkan konsep ini bisa memberikan rasa kebersamaan yang kuat. Misalnya, ketika ada yang sedang kesulitan, rekan kerja atau atasan bisa memberikan support, baik secara profesional maupun personal.Â
Komunikasi pun lebih cair, tidak ada batasan hierarki yang kaku, dan suasana kerja jadi lebih friendly.Â
Bahkan, ada kantor yang sampai memberikan fasilitas khusus untuk mendukung kesejahteraan karyawan, seperti ruang istirahat yang nyaman, fleksibilitas kerja, hingga kegiatan bonding seperti gathering dan outing. Â
Tapi, di sisi lain, konsep "kantor adalah keluarga" juga bisa jadi bumerang kalau diterapkan tanpa batasan yang jelas. Banyak perusahaan yang menjadikan istilah ini sebagai alasan untuk meminta loyalitas berlebihan, misalnya: Â
- Diminta kerja di luar jam kantor dengan alasan "kan kita keluarga, masa nggak mau bantu?" Â
- Harus selalu siap sedia kalau dibutuhkan, termasuk di hari libur. Â
- Ekspektasi untuk tetap stay di perusahaan dalam jangka waktu lama, meskipun karyawan sebenarnya sudah tidak nyaman atau ingin berkembang di tempat lain. Â
Nah, masalahnya, apakah konsep ini masih cocok diterapkan di era sekarang, terutama bagi generasi Z yang mulai mendominasi dunia kerja?
Generasi Z dikenal lebih mengutamakan work-life balance, profesionalisme, dan batasan yang jelas antara kerja dan kehidupan pribadi.Â
Mereka tetap ingin lingkungan kerja yang nyaman dan suportif, tapi tanpa harus kehilangan hak mereka untuk punya waktu istirahat yang cukup. Â