Harta, tahta, dan wanita bukan lagi barometer kejayaan seorang pria. Pada era digital, anekdot itu telah berganti jenama menjadi harta, tahta, dan kuota. Daripada habis kuota, lebih baik IndiHome saja.
***
Tidak terasa, enam tahun sudah saya menjalani profesi ganda. Karier pertama dan utama saya, analis ekonomi di salah satu lembaga negara. Tugasnya meracik data dan angka untuk dimasak menjadi kajian atau laporan ekonomi sarat makna. Grafik, tabel, dan presentasi adalah makanan sehari-hari saya.
Tatkala akhir pekan tiba, saya berubah profesi. Urusan kantor saya kesampingkan. Dasi dan kemeja saya tanggalkan, berganti jubah menjadi seorang blogger. Lantaran hobi dan sudah kadung jatuh hati, rutinitas ini konsisten saya lakoni. Kecuali ditimpa sakit atau ada urusan lain yang lebih penting.
Kolega di kantor banyak bertanya. Katanya, apa pula yang melatari alasan saya pakai jurus “katak” atawa “hidup di dua alam”? Sudah enak-enak terima gaji tiap bulan, lantas mengapa harus bersusah-payah mengudar kata-kata di jagat maya?
Tanpa berpikir panjang, kontan saya beri jawaban.
Setiap manusia butuh berekspresi. Bagi saya pribadi, menulis adalah cara saya mengekspresikan diri. Anda dan pria kantoran lainnya mungkin menambatkan hati pada golf atau otomotif sebagai ajang menyalurkan hobi.
Tapi buat saya, bentang aksara dan udar kata adalah jalan ninja dalam menuangkan ide dan gagasan sesuka hati. Dan, pada era digital, blog atau tulisan di jagat internet adalah media literasi yang paling banyak dibaca dan dicari orang. Simple, kan?
Kendatipun lika-liku pekerjaan analis ekonomi dan penulis digital bagaikan langit dan bumi, tapi sejatinya dua profesi tadi paling tidak memiliki dua kesamaan.
