Mohon tunggu...
Adhi Nugroho
Adhi Nugroho Mohon Tunggu... Penulis - Blogger | Author | Analyst

Kuli otak yang bertekad jadi penulis dan pengusaha | IG : @nodi_harahap | Twitter : @nodiharahap http://www.nodiharahap.com/

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Pendidikan: Solusi Melahirkan Kebiasaan Tanggap Bencana

20 September 2019   23:51 Diperbarui: 23 September 2019   15:22 549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kebiasaan tanggap bencana bisa menyelamatkan banyak korban jiwa. Foto: Global Education.

Padahal, kita sama-sama paham bahwa negeri ini berpijak pada tiga lempeng tektonik dunia: Australia, Pasifik, dan Eurasia. Oleh karenanya, Indonesia menjadi sangat rawan terhadap gempa bumi, tsunami, gunung berapi, hingga tanah longsor.

Belum lagi, risiko hidrometeorologi terus menghantui akibat posisi kita yang tepat berada di garis Khatulistiwa. Itu berarti, tendensi terjadinya banjir, kekeringan, cuaca ekstrem, abrasi, hingga kebakaran hutan---seperti yang kita alami saat ini---sangatlah tinggi.

Dari berbagai jenis bencana alam tersebut, banjirlah yang paling sering terjadi dan menelan banyak korban jiwa. Hingga Agustus 2019 saja, ada 542 bencana banjir yang terjadi di Nusantara. Sebanyak 289 meninggal dunia karenanya. Itu artinya, 78 persen korban jiwa disebabkan oleh banjir.

Yang paling parah, terjadi pada banjir Sentani, Papua. Ada 104 korban jiwa dan 79 orang dinyatakan hilang pada bencana yang terjadi bulan Maret lalu. Hampir 10 ribu orang mengungsi akibat 375 rumah rusak berat. Pendidikan lumpuh, aktivitas ekonomi terganggu. Kini, warga Sentani megap-megap untuk bangkit kembali.

Bencana banjir di Sentani, Papua. Foto: BBC.
Bencana banjir di Sentani, Papua. Foto: BBC.
Kalau mau jujur, kesalahan kita bukanlah terletak pada ketidakmampuan atau ketidakakuratan dalam menduga bencana. Sejak akhir tahun lalu, BNPB telah memprediksi bahwa 95 persen bencana alam berasal dari hidrometeorologi. Sebuah prediksi yang, sayangnya, kini sudah terbukti.

Hanya saja, tampaknya kita masih ogah mempersiapkan diri. Persis seperti kejadian tsunami Banten pada akhir 2018 lalu. Setelah semuanya terjadi, barulah viral di media sosial hasil kajian Geological Society of London yang telah memprediksi terjadinya tsunami Selat Sunda sejak enam tahun lalu.

Ketidaksiapan kita menghadapi bencana juga bukan diakibatkan dari ketidaktahuan memitigasi bencana. Banjir, misalnya. Kita pasti paham bahwa membuang sampah pada tempatnya, membersihkan sampah dari aliran sungai, dan menanam pohon untuk menambah resapan air adalah tiga cara mencegah banjir.

Akan tetapi, faktanya justru berbeda seratus delapan puluh derajat. Sampah berserakan adalah hal yang maklum kita temui saat berjalan di trotoar. Aliran sungai masih dihiasi sampah yang menggenang.

Yang paling mengenaskan, University of Georgia menempatkan Indonesia pada peringkat kedua negara pembuang sampah plastik ke laut terbesar di dunia setelah Tiongkok. Setiap tahunnya, sekitar 0,48---1,29 ton sampah plastik mencemari laut Nusantara.

Belum usai soal sampah, deforestasi juga masih menjadi masalah klasik yang tak kunjung selesai. Data statistik Kementerian Kehutanan menyebut laju deforestasi Indonesia sepanjang 2000---2010 mencapai 1,2 juta hektar per tahun.

Padahal kita tahu, hukum alam itu nyata. Bila kita terus mencemari alam dengan sampah dan tidak peduli pada penebangan liar, bencana alam pun akan menjadi buah pahit yang terpaksa harus kita telan. Sebaliknya, bila kita jaga alam, alam jaga kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun