Mohon tunggu...
Pendidikan

Moral Intelektual Tumbuh Tak Bertaji

12 Juli 2018   14:55 Diperbarui: 12 Juli 2018   14:52 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kalau saja satu Bangsa Indonesia ini sebuah pohon, maka remaja adalah bungga yang sedang mengucup, dia tegak berdiri di pucuk ranting, langsung berhadapan dengan sang matahari, bebas melihat kemanapun juga, tidak seperti generasi sebelumnya yang berada dibawah, yang pandangannya mulai tertutup oleh ranting dan daun, remaja adalah simbol sukacita, kehidupan remaja penuh dengan gaya hidup hura-hura, pokoknya bebas mengekpresikan diri, bebas berangan-angan, tapi jangan pula lupa!! Bahwa bunga yang sedang Kuncup merupakan incaran lebah untuk dihisap sari madunya.

Gaya hidup yang serba suka cita, menyebabkan kaum remaja merupakan bagian (Segmen) dalam masyarakat yang paling peka terhadap kemajuan zaman. Segala hal yang berbau "moderen" pasti tercium dulu oleh remaja, Celana melorot ala Justin Beiber menjadi sebuah treand; potongan rambut ala Cristiano Ronaldo langsung disambar remaja, tidak peka ibu-ibu stegah muda pakai kebaya juga megikuti ala agnes monica, begitu juga treand ala korea menjadi panutan gaya hidup mareka.

Sebenarnya gaya hidup hura-hura remaja sangat pas dengan arah gerak pembangunan Bangsa kita, sebab selama ini negara belum berhasil membangun arah gerak konsep pembangunan negara kita, yang dibentuk atas nilai-nilai kemasyarakatan, sadar atau tidaknya selama ini kita masih "Meminjam" konsep pembangunan yang dibentuk  atas dasar dan pegalaman nilai-nilai yang diyakini bangsa lain, akibatnya tentu hasil tidak jauh dari bentuk bangsa lain yang pernah memakai konsep yang sama. (Imawan: 1998).

Konsep pembangunan yang kita adaptasi, demikian pekat dengan nilai-nilai ekonomis. Bila iman tidak kuat, sangat gampang bagi seseorang untuk terjembab keupaya mencuri keuntungan-keuntungan ekonomis, sangat mudah bagi seseorang untuk merendahkan nilai dan martabat orang lain, karena orang itu tidak memberi keuntungan ekonomis apapun baginya. 

Pandangan ini tentu sangat bertentangan dengan nilai-nilai dasar hidup berbangsa kita. Kita demikian megagungkan nilai kekeluargaan, gotong royong, kita cocokan paham kebersamaan (Egalitarianisme) pada diri remaja, tetapi diluar sana mareka dihadapkan dengan nilai lain, yang secara potensial dapat meruntuhkan nilai utama yang ditanamkan didalam keluarga.

Namun dibalik semuanya tanpa kita sadar dari lingkup bawah samapai aparat pemerintah sering mengangsumsikan tata dari kehidupan masyarakat didunia barat demikian jelek dan tatanan sosial yang begitu amburadul, mareka tidak bermoral, dan kenakalan remaja identik pegaruh dari dunia luar, laddy gaga ditolak, mis dunia jadi perbincangan hangat, demo dimana-mana!! Sadarkah kita, bahwa cara pandang ini sangat dipengaruhi oleh pemahaman akan dikotomi jagad dalam dan jagad seberang?'' sadarkah kita, bahwa dengan merendahkan tatanan sosial masyarakat barat, selain dapat menyingug perasaan mareka, juga menyalahi sila kedua dari pancasila? Sadarkah kita, bahwa ide-ide moderenisasi yang kita laksanakan saat ini justru datang dari pengalaman masyarakat barat. Silahkah ambil cermin dan berdiri dihadapannya!

Berbicara maslah moral intelektual, tidak bisa dipungkiri bahwa moral intelektual saat ini dibawah tahap yang meghawatirkan, kesadaran akan kaum intelektual dalam arah prubahan turun signifikan. Apalagi intelektual pingiran, yang serta merta berdiam diri ketika ada kaum pendindas dan kaum kapitalisme menjarah harta benda masyarakat adat dan masyarakat setempat. Megabaikan segala cara itulah ciri khas mareka, tetapi kaum intelek tetap berdiam. Megharapakan ada keadilan dari oknum pemerintah, tanpa pernah kaum intelek pikirkan, bahwa mareka tidak mempunyai hukum, setiap orang mempunyai semacam UU yang megatur hidupnya, tetapi mareka tidak mareka sangat dingin (Prastyo: 2005).

Intelektual menurut Coser (1965) merupakan orang-orang yang berilmu yang tidak pernah merasa puas menerima kenyataan sebagaimana adanya, mareka selalu berpikir soal alternatif terbaik dari segala hal yang oleh masyarakat sudah dianggap baik, mareka selalu mencari kebenaran yang tidak berujung, dalam arti mareka cenderung tidak menyukai Status Qua. Tetapi persoalannya yang terjadi di bangsa dan tanah air kita apakah selaras terhadap defenisi tersebut, moral intelektual mulai dipertanyakan seketika permasalahan menghimpit, seketika persoalan akan kebebasan dipersempit, dan hak-hak masyarakat kecil tertindas, sementara disatu sisi intelek hanya berdiam diri, melihat permasalahan disatu sisi, yang akan segra selesai dengan seiringnya waktu. 

Teringat didalam bukunya (imawan, 1998), bahwa mareka para intelektual tidak pernah terikat akan kepentingan dunia. namun benda dunawi yang hadir disekitarnya, tidak lain adalah alat untuk membantu petualangan mareka. Mareka merasa bebas terbang seperti burung, arah terbang mareka hanyalah fakta-fakta dan prinsip kebenaran, dimana intelektual sejati adalah mareka yang bertindak rasional, lebih mementingkan akal dari pada perasaan, obyektif, punya integrated personality hingga sangup menyatakan benar ataupun salah tanpa pandang bulu. 

Sebuah kelucuan disaat membaca peryataan ini dan mengigat sebuah kejadian! Dimana saat saya meghadiri seminar nasional dengan pembicara M. Jafar selaku Mentri PDT dan transmigrasi. Disaat beliau mengambil cidra mata dari STPMD "APMD" Yogyakarta. Tidak sampai 1 detik buku ditangannya, berbondong-bondong ajudan mengambil buku tersebut, mungkin karena keberatan? Cerita Ini mungkin tidak lucu, tapi kelucuannya haruskah budaya meghormati atasan harus begitu besar ditanam oleh bangsa kita.

Dengan pegawalan begitu ketat dan segala sesuatu yang dibutuhkan atasan harus dituruti dan dipenuhi secepatnya, bahkan berlarian ditengah kerumbunan. Jika ini tidak dilawan kapankah akan ada sosok intelektual yang sangup menyatakan benar maupun salah tanpa pandang bulu. Tulisan ini tidak bermaksud apa-apa, tapi sosok intelek yang mati dibawah ketiak atasan yang menjadi kekwahtiran dari tulisan ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun