Mohon tunggu...
Nita Sri Rahayu
Nita Sri Rahayu Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Bengkulu

EKONOMI PEMBANGUNAN

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pendapatan Sektor Pemerintah Turun selama Pandemi Covid

3 Desember 2022   22:32 Diperbarui: 3 Desember 2022   23:37 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Penurunan penerimaan sektor pemerintah selama pandemi Covid-19 memberikan tekanan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (SBU) dan menciptakan defisit keuangan publik lebih dari 6 persen pada tahun 2020. Perlahan tapi pasti, perekonomian membaik. 

Pertumbuhan ekonomi yang negatif pada tahun 2020 meningkat sebesar 3,69 persen pada tahun 2021. Realisasi penerimaan negara pada tahun 2021 akan jauh melampaui target sebesar Rp2,003 miliar, karena dipengaruhi oleh penerimaan negara bukan pajak (PNBP) migas dan harga nonmigas. Kondisi ini akan berlanjut pada tahun 2022. 

Pada Januari 2022, penerimaan pemerintah Rp 156 triliun, naik 5 persen year-on-year, dan surplus pemerintah Rp 28 triliun. Harga komoditas yang tinggi saat ini, dipengaruhi oleh kendala struktural sisi penawaran, suasana konflik di Rusia dan Ukraina, serta meningkatnya permintaan global, memaksa kita untuk bersiap menghadapi kenaikan harga komoditas dalam jangka panjang. 

Dalam jangka panjang. Tingginya harga komoditas utama Indonesia, seperti minyak sawit mentah (CPO) dan batu bara, mengimbangi dampak kenaikan harga minyak, mencegah masalah neraca berjalan dan pendapatan pemerintah terus tumbuh. Perkembangan ekonomi tahun ini juga cukup istimewa, karena untuk pertama kalinya pertumbuhan nominal Produk Domestik Bruto (PDB) dua digit pada triwulan terakhir, dan pertumbuhan pada 2022 sebesar 14,4 persen.

Hal ini tentunya akan memberikan angin segar bagi para investor dan trader saham serta sektor lain di luar sektor konsumer. Peningkatan hasil dan peningkatan margin akan meningkatkan hasil di tahun 2022. Pasar saham bereaksi positif terhadap hal ini. 

Sisi kebijakan fiskal sedang terburu-buru untuk menyingkirkan kebijakan non-konservatif yang dipraktikkan dalam 2 tahun terakhir, yaitu. defisit keuangan publik, yang lebih dari 3 persen dari PDB dan beban, melalui normalisasi. Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia bersama-sama melaksanakan kebijakan distribusi tersebut. 

Peningkatan penerimaan pemerintah dari kenaikan harga komoditas dapat dengan mudah melampaui target penerimaan pemerintah yang hanya Rp 1,8 6 triliun. Patut diingat bahwa di tengah perkembangan ekonomi tersebut, target penerimaan pemerintah tahun 2022 lebih rendah dari realisasi penerimaan pemerintah tahun 2021. 

Dengan kenaikan harga komoditas tahun ini, bukan tidak mungkin kinerja anggaran dari pemerintah akan menurun. jauh lebih tinggi dari Rp 200 triliun - 300 triliun dibandingkan target saat ini. Hal ini perlahan tapi pasti menghilangkan urgensi kebijakan pemerintah yang nonkonservatif, karena APBN tahun ini akan dibiayai dari penerimaan pajak dan PNBP. 

Dalam kondisi demikian, kebutuhan untuk menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) semakin sedikit. Analisis sensitivitas kami menunjukkan bahwa untuk setiap kenaikan harga minyak sebesar US$10, terdapat peningkatan pendapatan pemerintah sekitar Rp 25 triliun per tahun. 

Subsidi memang meningkat, tapi lebih terlihat di neraca negara kuasi seperti Pertamina dan PLN. Hal ini dipengaruhi oleh defisit minyak yang membesar, namun umumnya diimbangi dengan peningkatan pendapatan dari CPO dan batu bara. Kekhawatiran selanjutnya, tentu saja, apakah harga BBM dan listrik akan naik. dimensi politik tidak dapat dipisahkan dari keputusan ini. Pada saat yang sama, peningkatan fleksibilitas pajak terkait dengan peningkatan pendapatan pemerintah memberi pemerintah beberapa pilihan, antara menaikkan harga bahan bakar dan memberikan subsidi kepada masyarakat yang terkena dampak, atau tidak menaikkan harga bahan bakar.

Selain itu, pasar keuangan saat ini bereaksi terhadap kenaikan inflasi dan harga komoditas. Imbal hasil obligasi pemerintah 10 tahun naik menjadi 6,7 persen, dan porsi asing di pasar obligasi Indonesia kecil. Meskipun inflasi belum meningkat, ketidakpastian tentang kebijakan pemerintah membuat investor mencari imbal hasil yang lebih tinggi dari surat utang negara. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun