Mohon tunggu...
Niswana Wafi
Niswana Wafi Mohon Tunggu... Lainnya - Storyteller

Hamba Allah yang selalu berusaha untuk Istiqomah di jalan-Nya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Listrik Belum Merata Bukti Abainya Negara

28 November 2024   16:31 Diperbarui: 30 November 2024   18:09 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Listrik merupakan salah satu kebutuhan pokok rakyat yang harus  dipenuhi oleh negara. Namun di Provinsi Jawa Barat, terdapat 22.000 kepala keluarga (KK) yang belum mendapatkan aliran listrik (beritasatu.com, 23 November 2024). Hal itu terungkap saat debat Pilkada Jabar 2024 yang digelar pada Sabtu, 23 November 2024.

Fakta lainnya, hingga triwulan I tahun 2024, masih ada 112 desa/kelurahan yang belum teraliri listrik, ungkap Bapak Zisman P. Futajul, Direktur Jenderal Departemen Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Jumlah ini masih lebih rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Diketahui pada akhir tahun 2023, terdapat 140 desa atau kelurahan yang kesemuanya berada di Papua belum memiliki akses ke listrik.

Adanya wilayah-wilayah yang tidak mendapatkan akses listrik di era digital saat ini merupakan hal yang wajib dipertanyakan. Bagaimana mungkin negeri ini masih menghadapi masalah klasik, yaitu pemerataan fasilitas dan layanan publik di daerah pelosok atau terpencil, pada era yang sudah serba digital? Hal ini tidak lain disebabkan oleh liberalisasi layanan publik menjadi layanan yang berbayar atau bukan gratis, termasuk dalam hal energi listrik.

Liberalisasi ditandai dengan banyaknya pihak swasta yang memiliki kendali besar atas kebutuhan dasar masyarakat. Sejak tahun 2000-an, liberalisasi sektor energi listrik mulai dilakukan. Pada tahun 1990-an, banyak produsen listrik independen (IPP) berdiri melalui perjanjian jual beli listrik, juga dikenal sebagai PPA. IPP mengelola pembangkit listrik dengan menjual sebagian atau seluruh produksinya ke PLN. Pada akhirnya, skema kerja sama ini memaksa PLN, BUMN milik negara, untuk membeli listrik dari IPP dengan harga berlipat.

Nilai tenaga listrik yang dibeli PLN dari IPP terus meningkat setiap tahunnya. Hal ini dimaksudkan untuk mendukung ketersediaan listrik. Nilainya mencapai Rp60 triliun pada 2016 hingga Rp104 triliun pada 2021, dan terus mengalami peningkatan. Kehadiran IPP dianggap membantu negara karena untuk membangun sebuah pembangkit listrik memerlukan biaya yang sangat besar dan waktu pembangunan yang lama. Oleh karenanya, menggandeng pihak luar menjadi dalih pembenaran.

Kebijakan ini makin dilegitimasi dengan terbitnya UU 30/2009 tentang Ketenagalistrikan. Dengan UU ini, pemerintah menggandeng swasta untuk membuat pembangkit listrik dalam mempercepat pemerataan listrik di seluruh wilayah Indonesia. UU ini menyatakan bahwa meskipun penyediaan listrik dilakukan oleh negara, tetapi perusahaan swasta atau asing masih dapat berperan sebagai penyedia energi listrik.

Mengingat biaya yang sangat besar untuk membangun pembangkit listrik, IPP pasti menginginkan keuntungan sebagai imbal baliknya. Layaknya perusahaan swasta pada umumnya, berbisnis di bidang energi, salah satu kebutuhan dasar masyarakat, haruslah mendatangkan keuntungan besar bagi mereka. Hingga saat ini, IPP hanya ingin berinvestasi dengan membangun pembangkit listrik di daerah yang menjadi pusat pasokan listrik, seperti Sumatra dan Jawa. Sangat wajar jika daerah pelosok seperti Papua dianggap tidak menguntungkan bagi perusahaan pembangkit listrik dari segi infrastruktur dan ekonomi. Investor tidak tertarik membangun pembangkit listrik di daerah pelosok atau terpencil.

Penerbitan UU 11/2020 tentang Cipta Kerja memberikan berbagai kemudahan bagi investor swasta dalam maupun luar negeri di bidang energi listrik. Akibatnya, keran liberalisasi listrik makin menguat. Meskipun UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat dan digantikan dengan Perppu 2/2022 tentang Cipta Kerja, namun isi Perppu ini tidaklah jauh berbeda dengan UU yang menuai kontroversi itu.

Apalagi setelah adanya skema power wheeling yang menuai banyak pro dan kontra di kalangan masyarakat. Power wheeling merupakan mekanisme transfer energi listrik dari pembangkit swasta ke fasilitas operasi milik negara atau PLN dengan menggunakan jaringan transmisi dan distribusi PLN. Bahkan, skema ini dapat membangun mekanisme Multi Buyer Multi Seller (MBMS) yang memungkinkan pihak swasta dan negara menjual energi listrik langsung ke konsumen akhir di pasar terbuka. Skema ini menuai banyak penolakan dari berbagai kalangan karena dianggap hanya mementingkan bisnis swasta semata sehingga pemerintah mencabutnya.

Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa kapitalisasi energi listrik sangat jelas terjadi. Masyarakat di daerah pelosok mengalami kesulitan untuk mendapatkan layanan listrik. Hal ini terjadi karena dua hal. Pertama, listrik tidak diberikan secara gratis. Untuk mendapatkan pelayanan listrik, masyarakat harus mengeluarkan uang, dan harganya tidaklah murah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun