Mohon tunggu...
Khairunisa Maslichul
Khairunisa Maslichul Mohon Tunggu... Dosen - Profesional

Improve the reality, Lower the expectation, Bogor - Jakarta - Tangerang Twitter dan IG @nisamasan Facebook: Khairunisa Maslichul https://nisamasan.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Bijak Mengelola Keuangan, Paksaan atau Pilihan?

29 Juni 2018   09:49 Diperbarui: 30 Juni 2018   03:32 3215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Pixabay/Rawpixel)

Akrab dengan kalimat seperti ini? "Kalau gaji sudah sekian, pasti cukup untuk hidup tanpa hutang, lalu bisa menabung dan investasi. Dengan gaji sekarang, bisa makan saja sudah syukur. "

Eh, giliran gaji naik, tetap saja sulit menabung apalagi berinvestasi.  Pola keuangan 'besar pasak daripada tiang' kembali terulang.  Aneh kan? Padahal jumlah pemasukan sudah mengalami peningkatan.  Lalu, kenapa bisa begitu?

Ternyata, tindakan dan keputusan seseorang itu tak terlepas dari dan selalu terkait dengan konteks (situasi dan kondisi) di sekitarnya.  Memang banyak yang sudah tahu dan ingin bisa hidup cukup dengan financial freedom atau bebas dari hutang (debt free) sehari-hari.  Niat sudah ada, ilmu tentang perencanaan keuangan juga banyak di kepala, nah terus realisasinya mana?

Ketika sudah tahu dan paham benar, manusia itu sejatinya adalah mahluk sosial, hal pertama dan terutama yang harus dicermati oleh seseorang saat berniat merencanakan keuangannya dengan bijak adalah: Faktor apa saja yang membuat hidup hemat terasa berat? 

Eh, hidup hemat di sini bukan berarti hidup melarat apalagi sekarat lho.  Kata kuncinya adalah pengendalian diri.  Di Indonesia sering ditemui, banyak jama'ah haji yang berasal dari sektor informal (petani kecil, penjual makanan kelililing, dan lainnya) berhasil pergi ke Tanah Suci setelah belasan bahkan puluhan tabung menabung. Hebat bukan? #KegigihanBerbuahKeberhasilan

Masalah keuangan jika ditelusuri sampai akarnya ternyata seringkali berujung pada kondisi psikologis seseorang.  Pernah mendengar istilah 'gila belanja' atau shopaholic? 'Terapi belanja' tersebut lebih cenderung menghinggapi orang-orang yang kondisi kejiwaannya sedang tak karuan dan membutuhkan pelarian.

Ilustrasi 1 (www.bfsg.com)
Ilustrasi 1 (www.bfsg.com)
Oleh karena itulah, Ekonomi Perilaku (Behavioral Economics) berfokus pada "cara seseorang berpikir dan merasakan (think and feel) serta bias pemahaman atau prasangka yang terjadi ketika membuat keputusan (decision making) dalam kegiatan ekonomi sehari-hari" (Samson, 2014). Seperti contoh di awal, banyak orang mengira dirinya bisa menabung dan berinvestasi serta bebas hutang saat pemasukan -- terutama gaji -- bertambah.  Nyatanya, perkiraan awal tersebut lebih seringnya meleset.

Setelah mencermati di sana-sini dan juga pengalaman pribadi serta membaca bahan bacaan tentang keterkaitan ilmu ekonomi -- khususnya keuangan - dengan psikologi (Behavioral Economics) yang saya pelajari selama ini, ada 4 (empat) faktor yang membuat hidup hemat seringnya terasa berat untuk dijalankan serta cara mengatasinya.  Berikut ini penjelasan beserta solusinya.  Selamat mencermati.

1. Diri Sendiri

Identifikasi Masalah:

Tidak disiplin atau malas membuat dan menaati anggaran (budget) keuangan

Alternatif Solusi:

Semuanya diawali dari KEBIASAAN.  Habit, kata lain dari 'kebiasaan' didefinisikan sebagai "pola perilaku yang otomatis dan tetap pada situasi spesifik serta dilakukan berulang kali dalam rentang waktu tertentu setelah mengalami proses pembelajaran (Dolan et al., 2010)."

Nah, berdasarkan hasil dari berbagai penelitian, habit atau kebiasaan seseorang bisa terbentuk dalam waktu mulai dari 3 minggu (21 hari), 2 bulan (66 hari), 3 hingga 6 bulan (90 sampai 180 hari).  Jika sudah dimulai dengan satu langkah awal, maka menghentikannya juga relatif sulit.

Menurut seorang perencana keuangan (financial planner) dari Amerika Serikat, Grant Webster, hal paling simpel dari membuat budget pribadi adalah dengan membuat daftar total nominal dari tiga hal berikut di selembar kertas:

  • Sebelah kiri kertas: Aset (Asset) yang dimiliki
  • Sebelah kanan kertas: Hutang (Debt) yang harus dilunasi
  • Bagian bawah kertas: Sisa (What's left) dari hasil aset dikurangi hutang    

Aset seseorang dapat berupa uang tunai (cash money), tabungan, investasi, properti, tanah, emas, dan lainnya.  Sedangkan bentuk hutang antara lain cicilan, iuran, tagihan, dan sebagainya.  Jika memiliki aset berbentuk non-tunai, seseorang harus mengetahui nilai asetnya tersebut ketika diuangkan untuk memudahkan penghitungan dan pengelolaan keuangan.

Idealnya, seseorang bisa memiliki nilai positif (surplus) dari hasil pengurangan aset dengan hutang.  Berarti kondisi keuangannya sehat dan aman karena memiliki aset. Jikalau nilainya nol atau tidak ada sisa aset sama sekali, maka bisa diakali dengan menambah jumlah pemasukan, mengurangi pengeluaran, atau sekaligus keduanya (meningkatkan pendapatan sambil menurunkan pengeluaran). 

Supaya kebiasaan hidup hemat tetap terasa menyenangkan dan tidak memberatkan, mulailah dari waktu yang sebentar, misalnya selama 3 minggu dan terus ditingkatkan hingga menjadi kebiasaan seumur hidup.  Percayalah, sedikit-sedikit lama-lama (pasti) menjadi bukit #HematItuNikmat

2. Pasangan

Identifikasi Masalah:

Perbedaan pola pengaturan keuangan: si boros vs si hemat

Alternatif Solusi:

Konsistensi dan komitmen menjadi solusi yang menguntungkan kedua belah pihak.  Saat belum menikah, urusan keuangan (belum) jadi masalah.  Tapi saat hidup seatap dan dikaruniai momongan, urusan tagihan bulanan yang belum dibayar karena pendapatan sudah habis untuk membiayai belanja konsumtif, dijamin membuat pusing tujuh keliling. 

Pasangan sangat dianjurkan untuk saling terbuka tentang kondisi keuangan masing-masing sebelum dan selama pernikahan.  Di kota besar, banyak pasangan yang membuat perjanjian pra-nikah (pre-nuptial agreement) sebagai pedoman dalam kehidupan berumah-tangga kelak, termasuk tentang pengaturan keuangan.

Sejatinya menurut teori dalam psikologi sosial menurut Cialdini (2008), "setiap individu itu pada dasarnya selalu termotivasi untuk menjaga konsistensi citra diri yang positif (positive self-image)".  Konsistensi tersebut akan semakin efektif melalui adanya komitmen, terlebih lagi jika komitmen tersebut juga diketahui oleh orang lain selain si pembuat komitmen.  Maka, pasangan dapat menjadi pengingat bagi satu sama lain jika komitmen keuangan yang telah disepakati bersama mulai keluar jalur. 

3. Gaya Hidup

Identifikasi Masalah:

Lebih fokus dengan gaya hidup saat ini tanpa memikirkan masa depan

Alternatif Solusi:

Wajib diingat, hidup bukan hanya untuk hari ini.  Sayangnya, mayoritas orang -- bahkan yang paham keuangan sekalipun -- pasti satu waktu pernah terjebak dengan fenomena present bias yaitu "kecenderungan banyak orang yang lebih memprioritaskan untuk menerima manfaat yang bisa diperoleh saat ini juga daripada jika harus menunggunya di masa depan" (O'Donoghue & Rabin, 1999).

Padahal, kondisi kesehatan dan produktivitas seseorang terus menurun.  Kerja lembur di usia 20-an hingga 30-an biasanya tidak terlalu dianggap sebagai beban karena dianggap sebagai salah satu cara untuk peningkatan karir.  Namun, setelah usia 40-an, jam kerja yang panjang tanpa kepastian promosi jabatan pastinya bukan menjadi pilihan karir yang utama.

Oleh karena itu, segeralah memiliki tabungan dan investasi serta asuransi rutin -- bisa dimulai dari menyisihkan sebesar 10% dari penghasilan setiap bulannya - yang terus bertambah secara kuantitas (jumlah nominal) dan kualitasnya (bentuk dan jenisnya) sepanjang waktu. Banyak perencana keuangan yang berulangkali menyarankan bahwa nilai investasi sangat bergantung erat dengan waktu memulainya:Semakin dini investasi dimulai, semakin besar pula nilainya.

Teknik lainnya yang bisa dipakai untuk mengurangi dampak negatif present bias adalah dengan teknik visualisasi.  Sekarang tiap kali melihat para manula atau lansia yang sudah pensiun, bayangkan bahwa 3 -- 4 dekade lagi, kaum muda saat ini yang nantinya akan berada di posisi sama seperti mereka. 

4. Lingkungan

Identifikasi Masalah:

Mudah dan sering terpengaruh dengan lingkungan sekitar (trend follower)  

Alternatif Solusi:

Dengarkan saran dari para ahli dan institusi keuangan dengan reputasi yang telah terpercaya dan dapat diandalkan lalu sesuaikan dengan kebutuhan masing-masing individu.  Langkah ini untuk mengantisipasi efek negatif dari Herd Behavior atau "perilaku individu yang lebih mengikuti keputusan dan tindakan kebanyakan orang saat memilih sesuatu daripada membuat lalu mengandalkan keputusannya sendiri (Samson, 2014). Padahal, belum tentu, pendapat yang diikuti sebagian besar orang itu tepat untuk semua lapisan masyarakat.

Di Indonesia, pernah terjadi demam batu akik sehingga (hampir) semua orang tertarik untuk mengoleksinya dengan harapan memperoleh keuntungan ketika diperjualbelikan.  Namun, bukannya laba yang diterima, malah modal yang sudah dikeluarkan hilang tak karuan rimbanya.  Atau saat komoditi tertentu tersebut sudah berkurang pamornya dengan masuknya trend terbaru, maka nilai jualnya pun ikut menurun drastis.

Kenyataan pahit itu bukannya terjadi sekali atau dua kali, tapi sudah banyak kasusnya dan bahkan hingga berulangkali dimuat di media massa.  Anehnya, masih banyak saja orang yang terjebak dengan pola yang serupa. Efek herd behavior ini semakin terlihat dalam sektor keuangan, terutama investasi saham. 

Banyak investor saham yang langsung mengikuti langkah para pemegang saham lainnya -- tanpa berpikir lebih rasional sambil mencermati keadaan - ketika terjadi fluktuasi atau ketidakstabilan nilai saham sehingga menimbulkan stock market bubble atau sekilas saham tertentu terlihat menguntungkan namun kenyataannya belum tentu demikian (Banerjee, 1992).

Ilustrasi 3 (www.udemy.com)
Ilustrasi 3 (www.udemy.com)
Kesimpulan      

Experience is the best teacher.  Namun, cukuplah kita belajar dari pengalaman orang lain yang telah merasakan pelajaran berharga dari kurang bijaknya pengaturan keuangan mereka sehingga tidak harus mengalaminya juga.

Jika merasa diri masih belum mampu mengelola keuangan dengan tepat dan juga cermat, menggunakan jasa perencana keuangan (financial planner) dan institusi keuangan juga sangat dianjurkan untuk dipertimbangkan.  Lalu bagaimana caranya mengetahui bahwa financial planner dan lembaga keuangan yang akan menjadi mitra konsultasi keuangan kita profesional di bidangnya?

Pertama dan yang terutama, pastikan perencana keuangan tersebut telah memiliki sertifikasi resmi dan bergelar Certified Financial Planner/CFP (Perencana Keuangan Tersertifikasi).  Untuk lembaga keuangan, bisa dicek daftarnya melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK). 

Kedua, teliti dan cermati dengan seksama rekam jejak (track record) perencana dan lembaga keuangan yang diminati.  Cara paling sederhana adalah melihat berita dan publikasinya melalui media cetak dan juga online. Khususnya bagi para blogger yang rutin bersentuhan dengan internet, pasti enggak lucu kan ya kalau sampai tertipu tentang keuangan dengan alasan 'kurang informasi', duh!

Ketiga, keterlibatan riil perencana dan institusi keuangan dalam menyebarluaskan edukasi tentang keuangan (financialliteracy) kepada masyarakat umum menjadi nilai plus.  Usahakan untuk rutin membaca informasi keuangan pada website institusi keuangan lokal dan global, khususnya artikel tentang financial literacy. 

Keberhasilan di masa depan selalu mengikuti rangkaian tindakan dari masa kini.  Mulai sekarang, pastikan bahwa pilihan untuk bijak mengelola keuangan adalah kebiasaan hidup yang rutin dilakukan. It is all about lifetime habit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun