Mohon tunggu...
Nisa
Nisa Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Mahasiswa informatika

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sampah Baru di Sampah Baru

21 Februari 2023   09:03 Diperbarui: 21 Februari 2023   09:08 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

" Mereka datang, bersiaplah! " seorang pria besar berseru-seru, kedua lengan itu sama sekali tak menggambarkan ketakutannya.

 Truk dengan onggokan sampah plastik diiringi kendaraan serupa didepannya. Itu benar, mesin pengangkut itu berjalan mundur. Bak-bak terangkat menumpahkan plastik sarat akan bau busuk bercampur makanan benyek berbelatung sebesar jari kelingking. Nampak sekali kerumunan larva itu pasti kekenyangan, ironisnya manusia mengais sampah karena kelaparan, membiarkan kehidupannya diejek oleh belatung. Sungguh kenyataan yang menjijikan indahnya. 

Tak pernah surut akan manusia, tempat itu beradu dengan hingar bingar. Bak semut merubung gula krumunan itu agak menggelikan jika dilihat dari jauh. Bukit yang terbentuk mengagumkan tingginya, nampak serasi dengan jagoan kota pencakar langit. Mahluk kelaparan itu mengoyak gundukan tanpa ampun. anak-anak dengan tawa renyah dan tangan cekatan berusaha memenuhi karung dengan botol plastik yang kian semakin berat. Para wanita menyobek, melipat, mengikat kardus-kardus dengan tangan terlatih. karung dan kardus itu akan dibawa menuju bantaran tempat pengepul datang, itu tugas para lelaki. 

Mereka tinggal disana rumah rumah kardus, itu tempat tinggalnya. Tak lebih tinggi dari orang dewasa, bangunan itu kecil, lebih besar gundukan-gundukan itu. Panas akan membakar tatkala siang menganga memuntahkan matahari dengan sinarnya yang membuat dahi berkerut silau. Jemari kehitaman membeku seiring angin membelai dari celah istana berlubang-lubang.

 *** 

" Berapa banyak yang kau dapat bung?" Pria jangkung dengan topi kecoklatan melempar tanya padaku.

 " Seperti biasa." Jawabku tak hirau.

 "Ayolah kau hanya duduk, mereka semua seperti mesin tak berhenti jika tak rusak." omelnya.

 " Ya aku tidak ingin menjadi mereka." ujarku sekenanya.

 Mendapat ocehan dari orang baru agak menyebalkan memang. Pria itu pergi sambil terkekeh, karung yang ia bawa sangat penuh dan terlihat berat. Badanya terbungkuk-bungkuk berteriak sukar. 

Bola oranye dilangit kala itu menempati titik tertingginya, meretakkan ubun-ubun. Para bocah disisi gundukan menjerit-jerit ketakukan, terikan penuh tarauma membubung ke seleuruh penjuru. Semua orang berlari meninggalkan karung mereka, sebagian ada yang masih membawa gancu -besi yang dibengkokkan ujungnya untuk memungut sampah-". Gerakan kaki beriringan sahut menyahut secepat mungkin, tanpa hirau paku berdiri yang mungkin saja menusuk telapak. 

Tergeletak seorang laki-laki dengan dada merekah meneteskan darah segar, organ dalamnya mengisyaratkan perbuatan brutal yang telah dilakukan, tak tahu yang mana tapi bagian dalamnya terasa tidak lengkap lagi. Batang hidungnya remuk memperlihatkan cekungan dalam bekas tumbukan benda berat. 

" Siapa yang melakukan ini?" Ucapan seorang wanita menghentikan sejenak detak jantung yang ramai, membangkitkan otak yang pura-pura lupa akan hal ini. 

" Entahlah, kurasa dia masih ada disini." Ungkap seorang pria pendek agak gelap kulitnya. Aku setuju dengannya, tempat ini mengerikan besarnya menampung puluhan bukit sampah, pemukiman manusia, belasan truk yang berpapasan setiap hari, dan mayat itu masih baru.

 " Apa kalian melihat pria bertopi tadi?" Kali ini pria kurus ikut berdiskusi.

 " Astaga, dia menghampiriku dengan pertanyaan aneh." Pria kurus lain turut serta. Semua orang menjatuhkan anggukan setuju. " Aneh, bagiamana?" desak pria besar itu, ya pria yang suka berseru-seru saat truk datang. 

" Bagaimana tidak, dia bertanya berapa karung yang kudapat, padahal aku pengikat kardus. Dan pakaiannya nampak terlalu bagus untuk seorang pemungut seperti kita" Jawaban seroang wanita yang membuat mata wanita lain mendelik terkejut.

 " kau lihat karungnya? Itu nampak terlalu berat untuk sekarung sampah, dia terbungkuk-bungkut membawannya." kali ini semua orang saling menatap setuju.

 Kau lihat ini kau lihat yang itu, semakin menjadi. Mudah sekali mengisi pikiran manusia dengan kesimpulan yang bahkan belum tentu kesimpulan. Kaki-kaki kembali berlari segera mengejar pria bertopi cokelat. Oh astaga, apa yang akan mereka lakukan pada pria bertopi coklat? Bukan kah bertanya mengenai hal yang kau lakukan adalah ramah-tamah untuk orang baru? Entahlah, aku enyah saja. Sudah kubilang aku tak mau menjadi mereka. Aku bergegas menemui sesorang, dia bilang selagi jantung masih basah harganya akan lebih mahal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun