Mohon tunggu...
Retno Wahyuningtyas
Retno Wahyuningtyas Mohon Tunggu... Human Resources - Phenomenologist

Sedang melakoni hidup di Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Masih Adakah Privasi Diri dalam Era Internet?

29 Januari 2019   23:11 Diperbarui: 30 Januari 2019   16:11 736
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: tekno.kompas.com

 

Globalisasi yang menyebarkan spirit percepatan, menghadirkan sesuatu yang sulit dijangkau dan mengubahnya menjadi hal yang paling dekat. Lewat teknologi gadget dan internet, saya dan keluarga saya di Sumatera saling terhubung. Tidak hanya mewakili kehadiran fisik, teknologi juga mewujudkan intensitas dan ruang dialog virtual antar manusia. Di era digital seperti sekarang ini di mana gadget, internet, dan sosial media adalah fitur yang digandrungi. 

Secara sosio-kultural, sosial media memiliki banyak fungsi salah satunya menghubungkan para netter (pengguna) baik antar personal, antar kelompok, individu-kelompok, kelompok-kelompok. Ada banyak kisah asmara yang disebabkan oleh sosial media, tapi kita juga sekaligus bisa membayangkan berapa banyak perpisahan yang juga disebabkan oleh penyalahgunaan sosial media yang tidak tepat. Pengadilan Agama pelan-pelan mulai menemukan realita dan mengkaji bahwa ada banyak kasus perceraian yang diakibatkan oleh sosial media.

Tidak ada standar moral dalam penggunaan sosial media, tetapi dalam masyarakat Indonesia yang masih erat dengan nilai sosial budaya timur, para netter dituntut untuk bijak dalam menggunakan sosial media sesuai dengan kekhasan budaya timur, menjunjung tinggi norma kesopanan. 

Celakanya, saya merasa "tuntutan" ini tidak sebanding dengan upaya solutif untuk pencegahan, misalnya tidak ada sosialisasi tentang internet baik kecuali si pengguna memiliki kesadaran personal untuk mengakses pengetahuan, atau realitanya kegiatan sosialisasi tidak menyentuh banyak masyarakat hanya ada di sekolah, kantor, kampus, perpustakaan, memenuhi ruang strategis bagi suatu kelompok. 

Pada Januari 2017 pengguna internet di Indonesia mencapai 132,7 juta jiwa, mencapai setengah dari populasi Indonesia 262.0 juta jiwa. Asumsinya setiap orang di Indonesia merupakan pemiliki gawai dan pengguna internet aktif. Fantastis!

Sebagai INFP yang bermigrasi ke Yogyakarta, saya sungguh merasa sangat kesulitan untuk menemukan ruang privat. Semua tempat dijejali manusia khas kota padat yang menjadi incaran para perantauan, saya menyaksikan berbagai peristiwa yang melibatkan individu dan kelompok. Ruang privat yang saya maksud tidak hanya sekadar ruang kosong, hampa, atau senyap, tapi lebih merujuk pada tempat yang aman untuk menyembunyikan fisik tetapi juga menyembunyikan psikis dari ketergantungan terhadap internet. 

Pada era global, kemampuan untuk memiliki gawai dan akses internet didasarkan pada kemampuan ekonomi secara personal untuk bisa mengakses kebutuhan tersebut, ini juga mengaburkan makna kemiskinan yang selama ini banyak diperbincangkan. Kuota menjadi kebutuhan yang harus dipenuhi dan kita mesti refleksi karena daya konsumsi kuota internet di negara ini jumlahnya cukup tinggi. Menariknya lagi, daya konsumsi ini mempengaruhi berbagai kalangan lintas usia, lintas jeni kelamin, lintas wilayah, dan lainnya.

Jujur saja sesungguhnya ditulis dalam rangka curhat colongan, sebagai INFP yang sudah saya jelaskan sedikit di atas merasa tidak berdaya bila harus melawan penggunaan internet secara individual. Ketika menjadi anak kost di Bengkulu, tahun 2010 paket internet adalah barang mewah yang hanya dikonsumsi di awal bulan bahkan saat itu tahun permulaan kampus saya memasang jaringan internet skala besar. Ya, di tahun 2010. Waktu itu seingat saya, semua baik-baik saja tanpa internet. 

Teman-teman yang aktif di sosial media hanya gandrung menggunakan sosial media Facebook dan BBM. Itu juga hanya sekali-sekali, saya dan teman lebih senang saling berkunjung dan ngobrol di tepi Pantai Panjang yang syahdu. Saya kembali ke Bengkulu tahun 2016, waktu itu wifi sesuatu yang lumrah ditawarkan oleh para pemilik kost. 

Satu tahun tinggal di Bengkulu lagi, saya merasakan perbedaan yang kentara, saya dan tetangga sebelah kost hanya saling menyapa bila listrik padam dan otomatis wifi juga padam. Selebihnya hari-hari dipenuhi dengan komunikasi yang ramah dan mesra lewat sosial media Whatsapp. 

Pada Agustus 2017 saya mendapatkan kesempatan untuk menjadi anak kost di Yogyakarta, dari hasil penjajakan melalui akun online penyedia jasa pencarian kost lalu saya menemukan perubahan bahwa rata-rata semua kost menawarkan fasilitas wifi. Tidak ada wifi justeru kurang diminati, kost yang ada wifi justeru nominalnya naik sedikit untuk alokasi kuota internet bulanan, pilihan saya jatuh pada kost yang ada wifi plus harga kost yang murah. 

Kost pilihan saya khusus untuk perempuan, dengan harga yang standar (menurut teman saya yang sudah nge-kost di sini dua tahun lalu adalah harga yang wajar), akses yang saya dapatkan di balik kelengkapan fitur yang tersedia, secara sosial para penghuni kost disasosiatif artinya menjadi sangat individual dengan kepentingan masing-masing. Saya sudah hampir dua bulan ngekost, mengawali perjumpaan dengan tetangga sebelah berujung pada kecuekan semata. Ini berlaku diantara penghuni kost yang lain, kami tidak saling kenal-mengenal, ketika waktu-waktu luang sebagi mahasiswa kami habiskan untuk berdiam diri di kamar. 

Terhubung dengan layar yang menimbulkan ekspresi suara yang beragam, misalnya penghuni kost yang gemar korea akan sangat gegap gempita melihat idolanya di kamar, saya yang gemar mendengar musik akan mendengarkan musik sepanjang waktu bahkan ketika saya sudah terlelap laptop tetap dalam keadaan menyala, serta berbagai ekspresi lainnya yang kadang membuat saya menduga-duga dan parno sendiri.

Kafe, perpustakaan, kantor-kantor, mal, food court , toko buku, semua tempat publik hingga kost hunian pun sudah pasti terkoneksi internet. Ada masa-masanya kita membutuhkan internet untuk menelusuri sesuatu hal dan wawasan yang baru, namun ada waktunya kita benar-benar bosan berhadapan dengan internet atau sosial media, namun merasa tidak berdaya untuk melepaskan jaring raksana internet yang semakin membelenggu dan menciptakan pola ketergantungan akibat penetrasi tingkat industri hingga tingkat privat. 

Bila dikaji secara psikologi tentu ini merujuk pada kondisi jiwa yang terganggu, kecanduan internet yang konon memiliki tingkat bahaya yang setara dengan kecanduan obat-obatan terlarang. Saya tidak mengatakan ini suatu penyakit, tapi dampak psiksisnya cukup berbahaya. Semoga kita semua bijak menggunakan sosial media. Salam!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun