Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

1965-1966, Presiden Soeharto dan Presiden Jokowi dalam "Bapak Polah Anak Kepradah"

25 Juli 2016   01:14 Diperbarui: 25 Juli 2016   02:30 4776
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Soeharto dan Bung Karno I Sumber Rosodaras.wordpress.com

Sejarah berdirinya PKI pun – sebagai organisasi politik seteleh dibentuk pada 1914, para tokoh PKI adalah tokoh-tokoh Islam dan beragama Islam. Bahkan lambang PKI pun Palu Arit berada di tengah Bintang Segi Lima. Cara komunikasi politik simbolisme PKI mampu menarik rakyat beragama Islam untuk masuk ke dalam gerakan PKI sejak 1914, sampai pemberontakan 1926, dan 1948.

Ciri yang menarik dari komunis adalah gerakan yang revolusioner cocok untuk kalangan yang merasa tertindas dan menderita. Bayangkan hanya dalam 2 tahun PKI kembali bangkit setelah Pemberontakan Madiun dan pada 1955 meraih posisi keempat sebagai parpol terbesar. Bahkan lima tahun kemudian pada 1960 keanggotaannya mencapai 3 juta anggota.

Kedua, terbangun sentimen anti PKI. Kekuatan PKI yang cenderung revolusioner-progresif dengan (1) memandang remeh militer,(2) melihat sebelah mata parpol lain seperti NU dan Masyumi, (3) memerkuat bisikan kepada Presiden Bung Karno, (4) propaganda masif yang agitatif nan cerdas, (5) telah secara tidak sadar membuat polarisasi antara pendukung PKI dan anti PKI. Keadaan politik sosial yang terbelah pada masa 1962-1965 telah membuat kekhawatiran TNI dan kalangan penentang PKI di dalam masyarakat.

Ketiga, posisi Presiden Bung Karno sebagai negarawan. Dalam posisi dominasi PKI dalam politik seperti itu, Bung Karno yang memahami kekuatan nasionalis sesungguhnya ada di TNI dan rakyat, Bung Karno mengambil posisi antara TNI dan PKI. PKI dilihat oleh Bung Karno sebagai kekuatan nyata yang mengakar di masyarakat – dengan Bung Karno tampaknya melupakan posisi kekuatan terbesar rakyat Indonesia yakni NU (dengan Partai NU) dan Muhammadiyah (dengan Masyumi). Bung Karno terkecoh dengan kanyataan bahwa sesungguhnya yang berada di dalam keanggotaan PKI adalah anak-anak bangsa yang sebagian terbesar adalah masyrakat Islam baik di kalangan NU maupun Muhammadiyah.

Keempat, persaingan di tubuh TNI atau militer. Di dalam tubuh TNI pun tampak kesatuan yang solid di antara berbagai angkatan. Hanya di dalam Angkatan Darat ada berbagai organ yang saling memengaruhi bahkan menggambarkan kekuatan pengaruh antara 3 kelompok. Pertama, kekuatan senior Jenderal AH Nasution, kedua, perwira brilian Jenderal Ahmad Yani, dan ketiga, kalangan kelompok perwira binaan Mayjen Soeharto – kelak menjadi eyang saya Presiden Soeharto.

Catatan buruk Mayjen Soeharto ketika bertugas di Jawa Tengah sebagai Komandan Komando Daerah Teritorial Pangdam IV Diponegoro pernah dipecat oleh AH Nasution. (Pasca Gestapo 1965, AH Nasution yang juga menjadi target hanya dilukai namun setelah Supersemar AH Nasution dibungkam sampai akhir hayatnya.) Dengan Jenderal Ahmad Yani, fakta nyatanya adalah bahwa Presiden Bung Karno sangat jelas menjadikan Ahmad Yani sebagai putra mahkota untuk menggantikan Bung Karno sebagai pengganti Bung Karno di kemudian hari. Hal ini disetujui oleh AH Nasution dan mendapat dukungan kalanganrakyat karena Ahmad Yani adalah sosok militer hebat sebagaimana AH Nasution. Semua persyaratan revolusioner dan militer dimiliki oleh Ahmad Yani.

Posisi Ahmad Yani sebagai Putra Mahkota yang begitu hebat ini membuat PKI jengah. Kejengangan di TNI tidak begitu tampak jelas. Namun yang sangat jelas, hubungan mesra di antara kalangan militer itu membangunkan rising star di TNI yang baru: Mayjen Soeharto. Riwayat pernah dipecat menjadi catatan hitam bagi Mayjen Soeharto terutama terhadap AH Nasution – dan para pendukungnya termasuk Ahmad Yani. (Sentimen pengalaman pribadi ini terbawa menjadi kredo politik dan kekuasan kelak oleh eyang saya Presiden Soeharto – yang mengekusekusi keputusan dengan begitu dingin nyaris tanpa ekspresi berlebihan, paling tersenyum. Eyang saya Presiden Soeharto sangat jarang tertawa ngakak untuk menjaga kewibawaan.)

Bangunan sentimen politik dan sosial sejak 1960 sampai 1965 meledak ketika Bung Karno dianggap gagal bertindak, pasca Gestapo 1965. Pembunuhan politik terhadap para perwira tinggi termasuk Jenderal Ahmad Yani dan 6 perwira lainnya melahirkan the rising star Mayjen Soeharto. Peristiwa pembunuhan politik terhadap militer mendapatkan reaksi dan PKI – dengan Letkol Untung-nya – menjadi pihak tertuduh nomor satu. Sejak saat itu, sentimen anti dan pro-PKI merebak di semua level masyarakat.

Bung Karno mendapat tekanan dari kalangan militer untuk bersikap tegas terhadap PKI – yang dituduh melakukan pembunuhan terhadap para jenderal. Namun, melihat rivalitas antara PKI dan TNI pada saat itu dan bayangan kekuatan nyata PKI – yang menjadi mitor – telah membuat Bung Karno sebagai negarawan yang mencintai rakyat, bangsa, dan negaranya dalam posisi sulit.

Posisi dilematis Presiden Bung Karno itu, ditambah dengan peristiwa pembantaian 7 jenderal TNI, menjadikan kesempatan bagi maneuver paling brilian the new rising star: Mayjen Soeharto. Dialah satu-satunya perwira tinggi selain AH Nasution – setelah tewasnya Ahmad Yani – yang ‘memajukan diri’ dan ‘menonjolkan diri’ untuk tampil menjadi ‘penyelamat bangsa’, dengan dua pertaruhan. Pertaruhan pertama adalah menyingkirkan PKI dari pemerintahan, kedua menaikkan diri sebagai ‘orang penting’ dengan embel-embel perwira TNI dan ‘dekat’ dengan Presiden Bung Karno.

Kondisi politik dan sosial pasca pembantaian para perwira tinggi militer pada 30 September 1965 yang (1) penuh ketegangan, dengan (2) sentiment antara PKI dan pendukungnya dengan para penentang PKI, (3) serta ketidaksenangan TNI dengan rancangan Angkatan Kelima dan (4) PKI yang dominan dalam pemerintahan, (5) posisi Presiden Bung Karno yang dilematis, menjadi kesempatan besar bagi the rising star Mayjen Soeharto – yang akhirnya mendapatkan legitimasi berupa Supersemar yang diperluas dan dimaknai sesuai dengan kemauan interpretasi Mayjen Soeharto.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun