Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kabut G30S Terjadi karena Kecerdasan Soeharto dan Kenegarawanan Bung Karno

9 Oktober 2015   07:54 Diperbarui: 9 Oktober 2015   07:54 529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketiga, posisi kecerdasan eyang saya Letjen Soeharto. Nah, di tengah berbagai persaingan itu, eyang saya Letjen Soeharto pun memiliki penasihat politik jempolan OG Roeder, sang mantan perwira pasukan Nazi Jerman. Sebagai perwira menengah eyang saya Soeharto berada di antara Bung Karno, tokoh PKI, dan perwira tinggi TNI lainnya.

Eyang Soeharto muda saat itu adalah “the rising star” yang siap menandingi Ahmad Yani. Jabatan mentereng Panglima Kostrad pun disematkan oleh Ahmad Yani dan Bung Karno kepada eyang saya Soeharto. Tak pelak posisi strategis di militer itu mendekati pucuk kekuasaan nyata TNI: Ahmad Yani dan A.H. Nasution.

Posisi yang strategis itu menjadi lebih tepat lagi ketika OG Roeder menjadi mentor politik eyang Soeharto. Pas. Cocok. Ada salah satu nasihat dan sikap yang oke dari OG Roeder adalah menasihati eyang saya Soeharto: jangan flamboyan seperti Bung Karno, lebih low-profile. Itulah sikap yang mengubah kepribadian politik Soeharto menjadi adem dan tenang sebagai antithesis Presiden Bung Karno. Dengan demikian Amerika Serikat – yang berusaha mencegah meluasnya pengaruh Uni Soviet dan Tiongkok di Asia Tenggara setelah Vietnam jatuh ke tangan komunis – akan menyukainya.

Sejak saat itu, eyang saya Soeharto tampil dengan senyum khasnya dan menjadi kelak ditulis oleh OG Roeder sendiri sebagai ‘the smiling general’. Keceerdasan eyang saya Soeharto teruji benar ketika hars bersikap terhadap (1) posisi militer yang seolah berhadapan dengan tokoh-tokoh PKI dan PKI.

Lalu (2) posisi di tengah eyang saya Soeharto dalam perang urat syaraf – dengan komporan bahwa PKI adalah atheist – antar para ulama dengan ulama lain yang pro dan kontra terhadap PKI sebagai organisasi politik sah pada saat itu, yang oleh eyang saya Soeharto cukup diamati.

Sikap strategis eyang saya Soeharto di antara militer dan sentiment anti dan pro PKI di dalam masyarakat ini (3) kelak menjadi picu sentimen pemberantasan dan pembunuhan terhadap massa ‘yang baik yang dituduh atau yang memang sebagai’ – anggota PKI, dengan legitimasi bodong berdasarkan baik isu maupun fakta kebenaran keterlibatan para tokoh PKI dalam pembunuhan para jenderal TNI.

Di tengah kondisi politik yang berhadap-hadapan antara rakyat pro komunis – dan PKI sebagai organisasi terkuat – dan kontra komunis di masyarakat, eyang saya Soeharto mampu memainkan kartu As-nya yakni dekat dengan Amerika Serikat – sebagaimana Ahmad Yani dan AH Nasution memiliki kecenderungan dekat dengan Amerika Serikat. Dalam masa 6 bulan setelah Gestapu 1965 situasi politik Indonesia tidak menentu.

Dalam kondisi itu, posisi politik Bung Karno dibuat dan dilemahkan – karena posisi isu yang diarahkan kepada Bung Karno untuk menempatkan Bung Karno sebagai dianggap lebih membela PKI – eyang saya Soeharto mendekati Bung Karno. Selama masa antara September 1965 sampai Maret 1966, kondisi politik dan ekonomi memburuk. Upaya pemulihan ekonomi dan politik tidak jalan. Demonstrasi di jalanan Jakarta semakin memuncak.

Sementara eyang saya Soeharto sudah diangkat menjadi Panglima Angkatan Darat menggantikan Jenderal Ahmad Yani. Di sinilah salah satu kecerdasan politik eyang saya Soeharto terbukti. Pada 11 Maret 1966, menjelang pelantikan Kabinet Dwikora yang disempurnakan – eyang saya Soeharto tidak datang dengan alasan sakit. Seharusnya eyang saya Soeharto datang langsung ke Bogor – namun senyatanya mengirimkan M. Jusuf, Basuki Rahmat, dan Amirmachmud – dengan alasan sakit.

Di situlah titik kecerdasan politik eyang saya Soeharto. Posisi strategis eyang saya Letjen Soeharto pada saat enam bulan itu sungguh luar biasa dimainkan. Tampak semua orang tunduk kepada arahan eyang saya Soeharto – yang sangat dekat dengan Bung Karno – dan mengatasnamakan Bung Karno. Maka semua langkah penguatan politik eyang saya Soeharto pun dilakukan dan para pemimpin militer dan politik – dengan PKI dan para tokoh PKI terpojok tak berkutik – dan sekaligus menjadi titik pelemahan Bung Karno.

Nah, puncak dari konsolidasi kekuatan – atas nama pemulihan keamanan pun dilakukan: pemulihan keamanan melalui surat perintah (Supersemar) yang diteken oleh Presiden Soekarno yang kelak dijadikan alasan mengambil alih kekuasaan oleh eyang saya Soeharto, dan bukan pemulihan keamanan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun