Mohon tunggu...
Franciano Permadi
Franciano Permadi Mohon Tunggu... Singer and Master of Ceremony -

Mahasiswa Teknik Penulis BELIA yang BIASA SAJA Menulis bukan soal TAHU tapi soal MENCARI TAHU

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Membedah Etika Politik Identitas

2 Maret 2018   13:31 Diperbarui: 2 Maret 2018   13:58 1015
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Jawa Pos

Pada beberapa waktu lalu saya tertegun ketika mendengar sebuah statement yang cukup mengejutkan dari bang Fadli Zon dalam sebuah acara pembahasan politik terkemuka dengan konsep road tour di sebuah stasiun televisi nasional yang cukup terkemuka. Statement beliau jelas dan lantang mengatakan bahwa, Politik Identitas adalah hal yang legal dan biasa saja dalam kehidupan politik Indonesia yang pluralis. Ia bahkan mencontohkan bahwa apabila seseorang memilih pemimpin berdasarkan agama, suku, dan rasnya adalah hal yang wajar. Statement yang mengejutkan lainnya muncul dari Juru Bicara Pemenangan Anies-Sandi, Pandji Pragiwaksono, pada akun Youtube nya. 

Ia mengatakan bahwa politik identitas adalah imbas dari adanya reformasi yang mengungkap identitas masing-masing karena adanya kebebasan berpendapat. Berbagai pertanyaan pun mengemuka, dan ingatan kita tentunya melayang pada saat-saat dimana Basuki Tjahja Purnama dibully dengan isu-isu SARA, ancaman bahwa jenazahnya tidak disholatkan, bahkan dipenjara dengan alasan menistakan agama. Apakah yang seperti itu sah-sah saja?

Apabila hal ini dijawab dengan opini saya, maka artikel ini akan menjadi artikel yang sama murahnya dengan kampanye-kampanye politisi yang menjual pandangan mereka. Maka dari itu, saya membedah politik identitas dari segi etis yang saya dapatkan dalam perkuliahan yang saya tempuh. Dan sebelum kita membedah dari segi etis, mari kita selaraskan secara singkat paham kita terkait 'Apa itu Politik Identitas?' Politik Identitas adalah kegiatan politik Primordial yang mengatasnamakan identitas tertentu, bisa dari suatu suku, ras, atau agama tertentu. 

Mereka biasanya datang dengan slogan mewakili kepentingan kaum yang diusungnya. Politik Identitas bersifat sangat fleksibel, karena siapapun dalam golongan manapun bisa direkayasa sedemikian rupa untuk menjadi bagian dari identitas yang mereka usung. Dan siapapun dari identitas yang sama dengan mereka, dapat berubah identitasnya karena berbeda pilihan politik yang mereka buat. Untuk penjelasan lebih dalam mengenai Politik Identitas dapat menunjungi laman kompasiana.com/irhamrajasa. 

Dan dalam konteks politik Indonesia, politik semacam sudah ada sejak jaman kerajaan. Dan hal ini terus berlangsung seakan-akan menjadi sebuah tradisi yang tak akan pernah hilang. Maka dari itu, di jama Demokrasi ini, masih pantaskah Politik Identitas didengungkan? Atau tepatnya masih 'etis' kah Politik Identitas?

Dalam mata kuliah Etika Sosial, saya diajari bahwa ada 5 pisau analisis etika, yaitu Waras, Bebas, Hati Nurani, Penghormatan Terhadap Martabat Manusia, dan Nilai Pada Penghormatan. Dan marilah kita bedah satu per satu Politik Identitas dengan 5 parameter tersebut. Yang pertama, kewarasan pelaku dari Politik Identitas harus tidak terganggu oleh penyakit psikis apapun. Politik Identitas harus sepenunhnya dilakukan dengan pertimbangan logis yang waras dan bisa dipertanggungjawabkan. Politik Identitas juga tidak boleh berimbas pada gangguan kejiwaan manusia. 

Dalam parameter ini Politik Identitas 'masih' dianggap etis karena belum ada kasus yang menyebutkan bahwa pelaku memiliki gangguan kejiwaan dan menyebabkan obyek mengalami gangguan kejiwaan. Yang kedua, bebas, Politik Identitas tidak mengganggu kebebasan manusia dalam melakukan dan menentukan sesuatu yang dianggap penting. Dalam parameter ini lah Politik Identitas yang menghalalkan paksaan dapat menjadi tidak etis dalam pelaksanaannya, namun tidak semua pelaksanaannya melanggar parameter ini. 

Yang ketiga, Hati Nurani dari manusia tidak boleh diingkari dalam pelaksanaan Politik Identitas. Hal ini juga bisa melanggar apabila Politik Identitas dilakukan dengan format seperti Pilkada DKI Jakarta yang penuh dengan ancaman-ancaman yang berdasar pada identitas tertentu. Yang keempat, Penghormatan Terhadap Martabat Manusia. Politik Identitas menjadi tidak etis akibat parameter ini karena pada dasarnya Politik Identitas hanya mengagungkan satu golongan saja dan merendahkan martabat golongan lain. 

Hal ini lah yang harusnya dihindari, apalagi dalam konteks Indonesia yang notabene merupakan negara pluralisme. Dan yang terakhir, Nilai Pada Penghormatan. Hal ini juga semakin membuat Politik Identitas tidak etis karena tidak mengandung nilai penghormatan ataupun penghargaan terhadap golongan lain. Cenderung bersikap fasis terhadap golongan yang diusungnya saja. Dan dengan ke lima parameter tersebut, masih etiskah Politik Identitas?

Bila dilihat dari kelima parameter, Politik Identitas hanya memenuhi satu parameter, dua parameter diragukan, dan dua parameter terakhir tidak dapat dipenuhi. Maka dari itu, Politik Identitas tidak lagi etis dilakukan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Politik Identitas hanya merusak fondasi kesatuan bangsa yang sudah dibangun oleh pendiri bangsa dengan susah payah. 

Dan apabila bung Pandji berkata bahwa Presiden Soekarno pernah bilang dalam sebuah forum Pancasila bahwa pilihlah pemimpin yang mempunyai identitas yag sama apabila ingin diwakili oleh mereka dan kita masih berpaku pada kata-kata itu. Maka selamanya, negara ini akan jalan di tempat. Salam Merdeka! Salam Bhineka!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun