Kepada Ramadan tercinta,
Aku menulis surat ini dengan penuh rindu yang tak tertahankan. Baru saja kita berpisah, tetapi rasanya aku sudah ingin mengulang kembali semua momen indah bersamamu. Oh Ramadan, kau benar-benar seperti mantan yang masih terus dikenang, beda tipis antara kebahagiaan dan kegalauan. Saat kau datang, aku berjanji akan memanfaatkan waktu sebaik mungkin, tapi entah mengapa, tiap kali kau pergi, aku selalu merasa belum cukup maksimal. Duh, kapan kita bisa bertemu lagi?
Ketika kau hadir, suasana berubah drastis. Kota-kota menjadi lebih terang dengan lampu-lampu hias yang berkelap-kelip seperti mengedipkan matanya kepadaku, seolah berkata, "Yuk, sahur lagi!" Masjid-masjid penuh, suasana kebersamaan menghangat, dan orang-orang menjadi lebih sabar, setidaknya sampai mereka bertemu macet di jalan saat pulang dari tarawih.
Tapi, seperti hubungan yang penuh dinamika, ada juga suka dan dukanya. Aku masih ingat hari pertama berpuasa, ketika aku berjanji untuk bangun sahur dengan semangat. Alarm sudah disetel, video motivasi sudah ditonton, bahkan aku berjanji pada diri sendiri untuk tidak malas-malasan. Tapi kenyataannya? Alarm berbunyi, aku terbangun, lalu berkata dalam hati, "Lima menit lagi..." dan tiba-tiba azan Subuh berkumandang. Sahurku pun hanya berupa seteguk air mata penyesalan.
Oh Ramadan, kau selalu datang dengan tantangan tersendiri. Godaan makanan siang hari terasa lebih berat dibanding bulan-bulan biasa. Mengapa di bulan lain aku baik-baik saja melihat orang makan siang, tetapi begitu kau hadir, bahkan iklan sirup di televisi pun terasa seperti cobaan hidup? Belum lagi saat aku mencoba tetap fokus bekerja atau belajar, tetapi pikiran justru melayang ke menu buka puasa. Niatnya mengerjakan tugas, tapi tiba-tiba sudah asyik browsing resep kolak pisang. Ah, Ramadan, kau benar-benar tahu cara membuat hatiku bergejolak.
Tapi yang paling aku rindukan darimu adalah momen kebersamaan. Saat menjelang berbuka, seluruh keluarga berkumpul di meja makan dengan senyuman lebar, walaupun beberapa dari mereka mungkin sudah lelah karena harus menghadapi macet demi sebungkus gorengan. Ketika suara azan Maghrib berkumandang, semua kelelahan langsung sirna. Satu teguk air, satu suap takjil, dan kebahagiaan pun menyelimuti ruangan. Aku bersumpah, kurma dan es teh manis tidak pernah terasa lebih nikmat daripada saat itu.
Dan tarawih! Oh, tarawih! Aku mengaku, ada hari-hari ketika niatku untuk melaksanakan tarawih berjamaah sangat kuat, tapi entah kenapa tubuhku justru berkompromi dengan kasur. Ada juga malam-malam di mana aku mencoba bertahan mengikuti rakaat demi rakaat, tapi begitu imam mulai membaca surat yang panjangnya melebihi batas kesabaranku, aku mulai menghitung jumlah ubin di masjid sebagai cara untuk tetap fokus. Namun, di balik semua itu, aku tetap merindukan suasana masjid yang ramai dan lantunan doa yang menggema.
Ramadan, satu hal yang membuatku benar-benar jatuh cinta padamu adalah caramu mengajarkanku tentang kesederhanaan dan kepedulian. Kau mengingatkanku bahwa rasa lapar yang kurasakan hanya sementara, sementara banyak orang di luar sana yang mengalaminya setiap hari tanpa tahu kapan akan berakhir. Kau membuatku sadar bahwa berbagi itu bukan sekadar memberi, tetapi juga merasakan kebahagiaan melihat orang lain tersenyum.
Namun, seperti kisah cinta yang tak ingin berakhir, aku selalu merasa perpisahan denganmu datang terlalu cepat. Tak terasa, malam-malam penuh berkah mulai menipis, dan sebelum aku menyadarinya, takbir Idul Fitri sudah berkumandang. Dan seperti hubungan yang penuh drama, aku pun mulai menyesali waktu-waktu yang terlewat. "Kenapa kemarin aku tidak lebih banyak baca Quran? Kenapa aku menunda-nunda sedekah? Kenapa aku terlalu sibuk dengan urusan dunia?" Ah, Ramadan, kau benar-benar mengajarkan arti kehilangan dengan cara yang paling manis.
Saat kau pergi, ada dua hal yang selalu kutakutkan: berat badan yang justru naik akibat balas dendam saat lebaran, dan apakah aku bisa tetap menjaga kebiasaan baik yang telah aku mulai bersamamu? Ramadan, kau seperti pelatih pribadi yang sabar, mendorongku untuk lebih baik, tapi begitu kau pergi, aku kembali harus berjuang sendiri. Aku takut kebiasaan bangun sahur berubah menjadi kebiasaan bangun kesiangan, dan aku takut kebiasaan berdoa dan bersedekah yang rajin selama sebulan ini perlahan-lahan mengendur seperti ikat pinggang setelah pesta lebaran.