Di ruang tungu itulah awal pertemuan terjadi, hingga berlanjut layaknya hubungan dua sejoli yang sedang jatuh cinta. Berawal dari pertemuan tersebut, mereka pun saling memberikan perhatian. Sayang, hubungan itu tak direstui orang tua Zaza disebabkan oleh hal yang rumit.Di ruang yang serba putih itu, Zaza menunjukkan suratnya kepada seorang lelaki yang tengah terbaring sakit."Surat." ucapnya sambil ditunjukkannya kepada lelaki itu.
 Surat Zaza yang isinya memohon agar Prama, menyusulnya tak sempat dikirimnya. Masih disimpannya rapi dalam sebuah bungkusan kecil. Bungkusan itu selalu diselipkan dalam susunan baju di dalam lemari bajunya. Saat baju-bajunya berpindah ke dalam kopor, bungkusan itu mengikutinya ke mana pun kopor itu pergi. Lama Zaza menyembunyikannya dari Larissa, putri semata wayangnya.
Perempuan berkulit kuning langsat itu terus bercerita.
Dari surat itu pula tabir tentang mereka berdua terkuak. Di umur remajanya, Larissa menemukan benda keramat itu dan dimulailah petualangan sang putri. Zaza mengetahui itu ketika benda itu sudah berpindah tempat. Ia juga tambah yakin ketika Larisa membawa-bawa kisah tentang lelaki yang tengah terbaring sakit. Pasien yang nama belakangnya sama dengan nama pemberiannya.
Di saat mengungkap itu, terdengar suara perih di hatinya. Prama mengambil tissu dari meja yang letaknya dekat dengannya. Tangannya gemetar karena desakan penyakitnya. Zaza iba melihatnya. Ditahannya lengan Prama. Diambilnya tissu itu. Dilapnya kristal yang mengalir di ujung mata Prama.
Kini Zaza ada di depan mata Prama. Lelaki itu tak mampu berkata-kata. Ia hanya menimak saja. Ia tak kuasa berkata-kata. Dirabanya bolpoint yang tergeletak di atas meja kecil di dekatnya. Zaza segera memahami, mengambikannya untuk lelaki itu. Prama memberi kode untuk mendudukkannya.
Prama mulai menulis. "Aku tak sanggup untuk percaya bagaimana aku bisa mengakuinya? Apa mungkin ia anakku, Za? tulisnya walau agak berantakan. Zaza menanggapi tulisan itu. "Di dunia ini hanya ada satu laki-laki yang pernah aku kenal, Pram! Hanya kau seorang! Saat itu, aku hanya ingin anakku lahir. Aku benci aborsi!' tegas Zaza.
Prama menatap mata perempuan yang dulu sangat dicintainya. Ia menulis lagi. Saat kau meninggalkanku, aku jatuh sakit, Za. Dan dalam kesakitanku, aku berusaha mencari tahu di mana keberadaanmu. Kamu tahu sendiri keadaanku keuanganku. Biaya kuliah saja kuperoleh dari hasil kerjaku separuh hari, mejadi kuli bangunan. Mustahil aku bisa menyusulmu, Za! Itu nonsens!"
Zaza meraih buku lalu menyobeknya untuknya. Dibacanya. Buku kecil itu diberikan lagi kepada Prama.
Prama menulis lagi. "Akhirnya, aku hanya mampu berusaha melupakan kenangan kita. Dengan sengaja kubunuh perasaan cintaku. Tiga tahun sesudah itu aku bertemu Argyanti."
Perempuan itu meraihnya lagi. dilihatnya tulisan itu mulai terseok. Zaza tak tahan melihatnya. Ditatapnya mata kuyu dan senyum yang mengisyaratkan ketidakberdayaan. Ia tak sanggup menatap lama. Hatinya teriris. "Maafkan aku."