Mohon tunggu...
Sosbud Pilihan

Regenerasi Petani Milenial di Era Digital Farming

12 Mei 2019   01:37 Diperbarui: 12 Mei 2019   02:06 578
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saat ini mayoritas di daerah pedesaan di Indonesia sedang menghadapi permasalahan  serius yaitu krisis regenerasi dari petani tua ke generasi muda. Hal ini disebabkan berkurangnya minat generasi muda di bidang pertanian, bahkan terdapat kecenderungan mahasiswa lulusan Fakultas Pertanian menjauhi profesi sebagai petani. Lulusan Fakultas Pertanian dari berbagai kampus menghindari jadi petani karena enggan berpanas-panasan di lahan, tidak suka kotor, dan lebih nyaman bekerja di kantor. Dengan kata lain mereka lebih memilih "zona nyaman".

Sementara itu, data BPS yang tercatat hingga saat ini (2018) menunjukkan bahwa dari total 26.135.469 petani, jumlah terbanyak petani berada pada usia 45-54 tahun yaitu sejumlah 7.325.544 petani. Sementara itu,  jumlah terbesar kedua pada kelompok usia 35-44 tahun yaitu sejumlah 6.885.100 petani dan jumlah ketiga dan keempat pada kelompok usia lebih tua lagi, yakni 55-64 tahun yaitu sejumlah 5.229.903 petani.

Kelompok petani usia lebih dari 65 tahun sebanyak 3.332.038 petani. Adapun jumlah petani muda di kelompok 25-35 sebanyak 3.129.644 orang. Pada kelompok usia 15-24 tahun, jumlah petani hanya 229.943 orang. Jumlah paling sedikit pada kelompok di bawah usia 15 tahun, yakni 3.297 orang. 

Data tersebut menunjukkan bahwa semakin usia ke bawah pun semakin sedikit jumlahnya. Dapat disimpulkan bahwa 61 persen petani di Indonesia berusia di atas 45 tahun, dimana usia produktif seseorang sudah menurun cukup drastis pada usia sepuh seperti itu. Sehingga prioritas utama saat ini adalah melibatkan kaum muda untuk mencapai ketahanan pangan nasional.

Beberapa tahun ke depan, Indonesia akan menghadapi lonjakan penduduk, dimana jumlah penduduk yang produktif lebih tinggi dibanding jumlah penduduk lansia dan anak-anak dan hal ini merupakan kesempatan untuk mengenalkan pertanian kepada kalangan anak muda. Karena apabila hal ini tidak dilakukan maka Indonesia akan mengalami kekurangan sumberdaya manusia dan bisa dibayangkan jika 10-20 tahun ke depan kaum muda tidak mau jadi petani, siapa yang akan memproduksi pangan.   

Disamping itu, terjadinya urbanisasi /migrasi pemuda desa dari desa ke kota dan meninggalkan pertanian skala kecil di pedesaan. Pekerjaan sebagai petani dianggap kotor, menyusahkan dan pendapatannya kecil juga merupakan salah satu kendala untuk mencapai ketahanan pangan nasional.   

Beberapa pakar pertanian meyakini bahwa generasi muda adalah ujung tombak atau kunci dalam keberlanjutan pertanian di Indonesia dan solusi untuk menarik generasi muda untuk terlibat dalam bisnis pertanian adalah pertanian modern. Salah satu alat pertanian modern yang dapat mengubah pertanian menjadi bisnis yang menarik adalah pertanian digital (digital farming).

Digital farming merupakan teknologi yang dapat memudahkan pengambilan keputusan secara praktis dan bermanfaat, teknologi ini membuat manajemen risiko di pertanian menjadi lebih mudah dan membantu meningkatkan potensi keuntungan secara berkelanjutan (Jens Hartmann, 2018).

Di samping itu, terdapat beberapa kelebihan digital farming diantaranya : (1) Dapat membantu meramal cuaca, (2) menetapkan waktu dan volume yang tepat dalam mengaplikasikan produk perlindungan tanaman dan pemupukan, (3) rekomendasi dapat dibuat khusus bagi masing-masing petani di lahan yang berbeda, dan (4) Memungkinkan peningkatan hasil panen dengan meminimalkan dampak pertanian pada lingkungan hidup. Menurut Jens pertanian adalah bisnis berisiko tinggi dan sulit diprediksi. Suatu hari mungkin petani menganggap tanaman tumbuh dengan baik namun bisa saja pada keesokan harinya terjadi hujan lebat yang merusak tanaman.

Namun, terdapat kontradiksi tentang penerapan digital farming, khususnya bagi petani yang notabene berada pada usia di atas 45 tahun. Sementara regenerasi petani muda belum sepenuhnya terealisasi. Walaupun terdapat upaya yang dilakukan oleh Kementerian Pertanian untuk terwujudnya regenerasi petani muda di Indonesia, salah satunya adalah melalui Program Kelompok Santri Tani Milenial (KSTM).

Dengan harapan, program ini dapat membantu percepatan pembangunan pertanian dan regenerasi petani di tingkat kabupaten/daerah. Tentunya bukan suatu hal yang mudah untuk mencapai target dari setiap program yang akan diterapkan, sebagai contoh digital farming dan Kelompok Santri Tani Milenial (KSTM). Karena terdapat tantangan besar di dalamnya yaitu "mampukah Sumberdaya Manusia petani muda (milenial) ini mengimplementasikan dengan baik program-program tersebut?".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun