Di bawah langit pagi sang mentari tampak hadir malu-malu. Cahayanya samar membias di cakrawala. Suara langkah kecil terdengar menyusuri jalan tanah becek menuju sekolah. Dinda, seorang gadis kecil berkepang dua, memeluk tas lusuhnya erat-erat. Sepatunya robek, sehingga dia selalu menunduk jika berjalan ke sekolah.
Dia hanya ingin dianggap biasa, seperti anak-anak lainnya. Bukan jadi bahan tertawaan atau ejekan hanya karena kemiskinan keluarganya. Kadang ia menunduk bukan karena malu, tapi karena lelah menyembunyikan luka yang tak terlihat..
"Dinda! Tunggu! Kok kamu jalan cepat banget!" teriak Fira memanggil dari belakang. Dia terlihat berlari menyusul Dinda.
Dinda berhenti dan menoleh. Ia menyambut sahabatnya itu dengan senyum lembutnya. Dia memang bersahabat dengan Fira sejak kelas enam sekolah dasar. Mereka selalu berbagi dan memahami.
"Aku takut telat. Tadi bangun kesiangan. Aku pikir kamu sudah sampai sekolahan," jawabnya pelan.
Fira mengamati sepatu Dinda yang masih basah karena kehujanan kemarin siang. Fira menunduk, pandangannya tertuju pada sepatu usang yang dikenakan Dinda---solnya hampir copot, benangnya terurai. Hatinya mencelos, rasa iba perlahan menjalari wajahnya yang biasanya ceria.
"Sepatumu... masih yang itu, ya?" tanya Fira pada sahabatnya itu pelan. Dia tak mau melukai hati sahabatnya.
"Iya." Dinda menunduk. "Ibu belum bisa beli yang baru. Katanya tunggu panen. Aku sebenarnya malu, tetapi ya sudahlah...aku harus bersabar. "
"Aku punya sepatu lama, masih bagus, cuma kekecilan di aku. Kalau kamu mau..." Fira berkata sangat hati-hati. Dinda tahu Fira takut kalau dirinya akan tersinggung.
"Nggak usah, Fir. Aku nggak apa-apa kok," sela Dinda cepat. Dinda tidak mau sahabatnya merasa tidak enak hati.