Mohon tunggu...
Nina Sulistiati
Nina Sulistiati Mohon Tunggu... Senang menulis, pembelajar.

Pengajar di SMP N 2 Cibadak Kabupaten Sukabumi. Penulis kumpulan cerpen "Asa Di Balik Duka Wanodya", 1. ,Novel “Serpihan Atma”, Kumpulan puisi”Kulangitkan Asa dan Rasa, 27 buku antologi Bersama dengan berbagai genre di beberapa komunitas. Motto: Belajar dan Berkarya Sepanjang Masa tanpa Terbatas Usia. Fb Nina Sulistiati IG: nsulistiati

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cerpen "Bidadari Tak Bisa Bersayap"

27 April 2025   12:56 Diperbarui: 27 April 2025   13:37 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi dokumen pribadi by Canva

Siang itu 5 Oktober 2005, langit seakan ikut berkabung. Awan hitam bergelayut, menahan hujan yang seakan malu jatuh. Di sudut kamar rumah sakit, aku duduk memeluk diriku sendiri, membungkus tubuh yang tak henti gemetar.

Anakku, buah hatiku, baru saja pergi, meninggalkan dunia ini sebelum sempat mencicipi manisnya hidup. Usianya baru dua belas hari, masih sangat kecil. Tubuh mungilnya itu terbaring di ranjang rumah sakit, dipenuhi selang-selang tipis yang menusuk hidung, dada, dan lengannya yang rapuh. Tiap helaan napasnya dulu seperti perang melawan badai yang tak pernah surut. Kini, tangan mungil yang dulu menggenggam jemariku dengan sisa-sisa tenaga, telah kembali terkulai, seolah menyerah dalam keheningan yang terlalu luas untuk dipahami.

Aku mendekap tubuh kecilnya dalam pelukan yang terasa sia-sia; mencoba menghangatkan raga yang perlahan mendingin. Di sekeliling ranjangnya, mesin-mesin yang tadinya berbunyi kini hanya mengeluarkan satu dengungan panjang: sebuah garis lurus di layar monitor, seolah menggambar takdir yang enggan kuakui.

Takdir Sang Ilahi, kadang datang seperti hujan badai yang menggulung langit cerah dalam sekejap. Begitu pula dengan  kami---aku dan suamiku. Kami pernah bermimpi tentang sebuah kehidupan baru, tentang tawa mungil yang akan mengisi hari-hari kami. Namun, Sang Penulis Takdir telah menorehkan jalan lain, yang harus kami lalui dengan mata basah dan dada penuh luka.

Pneumonia dan jamur --- dua kata sederhana, namun bagi kami, keduanya bergema seperti vonis dari hakim agung yang tak dapat diganggu gugat. Mereka datang seperti prajurit bayangan, mengendap-endap dan menggerogoti nafas anakku, menggerayangi setiap sudut paru-parunya yang belum kuat bertahan. Dua musuh tak kasatmata itu tidak hanya merampas helaan nafas dari tubuh kecil itu, tapi juga mencabik-cabik hidupku --- merampas detak dari jantung seorang ibu yang hanya bisa berdoa sambil memeluk udara kosong.

Setiap detik di ruang perawatan itu adalah peperangan sunyi. Setiap bunyi mesin, tiap kedipan monitor, adalah seruan antara hidup dan mati. Selang-selang yang menjulur dari hidung dan dadanya adalah akar-akar rapuh yang mencoba bertahan di tanah yang sudah tak subur.

Aku menatap wajahnya yang pucat, jari-jarinya yang kecil menggigil lemas lunglai. Dan saat garis itu akhirnya lurus di layar monitor, aku tahu: aku telah kehilangan lebih dariseparuh hidupku. Aku telah kehilangan sebongkah harapan yang belum sempat kubahagiakan.

Sang Ilahi telah memanggil kembali titipan-Nya. Si bidadari kecilku, bintang kecilku, kini bebas dari derita yang tak pantas ia tanggung. Namun aku, yang ditinggalkan, harus belajar merangkai hidup di atas puing-puing harapan yang runtuh. Belajar menerima bahwa ada cinta yang harus dilepaskan --- bukan karena ia tak berarti, tetapi justru karena ia terlalu berharga untuk terus diikat pada dunia ini.

Pneumonia dan jamur --- nama-nama asing itu akan selalu menggema di kepalaku, namun kini aku tahu: mereka bukan musuh sebenarnya. Mereka hanyalah utusan kecil dalam skenario agung Sang Ilahi, yang menuntunku pada pengertian tentang cinta, kehilangan, dan ketabahan yang tak mengenal batas.

Suamiku, yang biasanya selalu kuat, kini duduk di samping ranjang, menunduk dalam diam. Tangannya mengepal, seolah mencoba menahan amarah pada sesuatu yang bahkan tak bisa ia sentuh: takdir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun