Setiap takbir menggema di angkasa,
mengalun syahdu di sela angin yang lirih,
tapi di hatiku, sunyi lebih bising dari suara bedug,
kosong lebih dalam dari gelapnya malam.
Dulu, di bawah cahaya lampu temaram,
kau sibuk menyiapkan ketupat dan opor,
tanganmu menari di atas nyala dapur,
sementara aku kecil, melingkar di pangkuanmu,
menunggu cerita-cerita sebelum lelap.
Kini, hanya bayangmu yang kembali,
dalam sepi yang menggantung di langit rumah,
wajahmu menjelma kilau bintang,
tapi tak bisa kusentuh, tak bisa kupeluk.
Ibu, di mana kau kini?
Di antara lantunan takbir yang mengalun,
di setiap butir air mata yang jatuh,
di hati yang tak pernah lupa menyebut namamu.
Aku rindu, Ibu...
Rindu menempelkan dahiku di punggungmu saat salat,
rindu kecupanmu di ujung kening sebelum lebaran tiba,
rindu suara lembutmu mengucap maaf,
sebelum fajar Idulfitri menyapa.
Tapi kau telah pergi,
dan aku hanya bisa mengirim doa,
bersama gemuruh takbir yang menggetarkan dada,
semoga kau damai di surga-Nya,
seperti aku yang mencoba damai dalam rindu ini.
Cibadak, 25 Maret 2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI