Mohon tunggu...
Niko Simamora
Niko Simamora Mohon Tunggu... Pengajar - Menulis

@nikomamora~\r\nnikosimamora.wordpress.com~\r\nniko_smora@live.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Nyambi Ke Bromo

28 Oktober 2014   17:59 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:26 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_369916" align="alignnone" width="1024" caption="Pemandangan dari view point"][/caption]

Perjalanan wisata terkadang tak harus direncanakan. Dalam kondisi bekerja pun, perjalanan wisata dapat dilakukan bersama teman-teman kerja. Ini yang saya rasakan ketika melakukan pekerjaan dalam sebuah proyek di Surabaya. Bagaimana kisahnya?

Perjalanan kami mulai pagi hari, sekitar pukul delapan pagi. Berangkat menggunakan bus Damri dari Tanjung Perak menuju Terminal Bungur Asih.  Tiba di Terminal Bungur Asih kami berganti bus menuju Probolinggo. Bus ini cukup nyaman dilengkapi pendingin udara dan music sepanjang perjalanan. Ongkos perjalanan Rp 27.000,- dengan lama perjalanan kurang lebih dua jam, kami pun tiba di Terminal Probolinggo.

Kami menyempatkan diri untuk bersantap siang di terminal sambil mencari tahu angkutan apa menuju ke Cemoro Lawang. Tanpa direncanakan, kami bertemu dengan seorang pemuda Jerman yang juga ingin melakukan perjalanan ke Bromo. Kami pun tanpa ragu-ragu mengajak dia untuk bersama-sama dengan kami. Genaplah kami berenam menuju Cemoro Lawang.

Kami menumpang bus tiga perempat alias bison menuju Cemoro Lawang dengan ongkos Rp 30.000,- . Kami sempat menunggu beberapa lama sampai penumpang yang penuh di bus. Kebanyakan yang ikut dalam bus adalah bule-bule yang sedang berwisata. Bahkan ada juga bule yang sudah pernah, namun ingin kembali lagi ke sana.

Tiba di Cemoro Lawang, kami langsung mencari penginapan dan mempersiapkan perlengkapan terutama kupluk dan sarung tangan. Menyewa mantel atau jaket tebal pun bisa menjadi pilihan karena memang suhu udara yang dingin dan angin yang kencang. Saat sore kami hanya memandang-mandang kawah, lautan pasir dan Gunung Batok dari kejauhan. Setelah itu mencari makan malam yang hangat sambil kami ngobrol-ngobrol santai dengan beberapa bule yang ingin belajar bahasa Indonesia.

Setelah itu, kami lebih memilih untuk menyimpan tenaga karena berencana bangun dinihari menjelang subuh untuk berangkat menuju penanjakan satu alias view point untuk melihat matahari terbit. Saya berbagi ruangan dengan bule Jerman yang sudah mengunjungi Thailand, Malaysia, Singapura,  Danau Toba, Bandung, dan Jogja. Dia pun selanjutnya akan mengunjungi Kawah Ijen, Australia, dan terakhir di Selandia Baru. Betapa mereka menikmati hidup mereka.

[caption id="attachment_369917" align="alignnone" width="1024" caption="Menanti matahari terbit"]

14144674381737501719
14144674381737501719
[/caption]

Subuh aktivitas sudah ramai, ada ratusan kendaraan yang bergerak menuju penanjakan. Kami pun tak ketinggalan. Jip kami pun parkir cukup jauh dari tangga menuju view point. Di sana kami hanya menanti munculnya sang mentari sambil berpose ria suka-suka. Setelah itu, kami bergerak menuju kawah. Oiya, jangan lupa untuk beli bunga edelwais yang telah dirangkai seperti boneka. Lumayan buat dikasi ke pujaan hati. Hehehe..

[caption id="attachment_369918" align="alignnone" width="1024" caption="Matahari terbit"]

14144675411540831708
14144675411540831708
[/caption]

Menuju ke kawah, kami memilih jalan kaki sambil ngobrol. Persiapkan masker atau perlengkapan lain untuk menghindari menghirup debu yang beterbangan karena angin yang cukup kencang. Pilihan lain bisa menggunakan kuda. Untuk menuju puncak kawah harus menaiki sekitar 250 anak tangga, baru kemudian akan bisa menikmati kawah aktif yang berbau belerang. Ngeri ngeri sedap melihatnya dari atas.

[caption id="attachment_369924" align="alignnone" width="768" caption="Menuju kawah"]

14144679281874219492
14144679281874219492
[/caption]

Perjalanan kami selanjutnya menuju bukit Teletubbies alias stepa. Namun sayang, saat itu kondisinya hangus sehingga kami cukup berhenti di padang rumput lain di dekatnya. Selanjutnya menuju pasir berbisik, lokasi syuting film “Pasir Berbisik”. Pasirnya berbisik dikarenakan hembusan angin dan luasnya hamparan pasir. Lokasi ini juga kerap dijadikan tempat untuk sesi fotografi.

[caption id="attachment_369926" align="alignnone" width="1024" caption="Padang Rumput"]

1414468456660621078
1414468456660621078
[/caption]

[caption id="attachment_369927" align="alignnone" width="1024" caption="Pasir berbisik"]

14144686471264290894
14144686471264290894
[/caption]

Ah, sudah siang ternyata. Tak terasa, kami sudah mengunjungi empat lokasi di kawasan Gunung Bromo. Sungguh pengalaman yang menyenangkan, bisa nyambi ke sini di sela-sela kegiatan kerjaan yang padat setiap hari. Kami seharusnya bekerja di kapal dengan sistem shift namun, kapal kami sedang dalam perbaikan sehingga kami bisa ‘kabur’ sejenak untuk menikmati keindahan alam Indonesia yang tiada tandingannya. Bahkan ketika kami di sana, mayoritas pengunjung adalah bule-bule dari mancanegara. Betapa beruntungnya kita hidup di sini. Mari kita nikmati, jaga dan lestarikan alam Indonesia.

Kesan tambahan lagi: Nyambi aja terasa begitu sangat menyenangkan, apalagi direncanakan. Ayo segera buat rencana perjalananmu!

Tambahan info:

sewa jip+tiket masuk= Rp 700.000,- (bisa berbagi 6-7 orang),

penginapan 1 kamar besar Rp 200.000,- (muat 3-4 0rang)

makan Rp 15.000,- (nasi rawon/nasi pecel/nasi soto/nasi goreng)

Salam Kompasiana!

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun