Mohon tunggu...
Nikolaus Chrismas A.P.
Nikolaus Chrismas A.P. Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Living your Life

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Menanggapi Solusi Pandemi dalam Bentuk "New Normal"

26 Oktober 2021   06:37 Diperbarui: 26 Oktober 2021   10:20 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kebijakan new normal terkini seakan memberikan kita sebuah efek fatamorgana yang semu. Pemerintah merumuskan kebijakan ini atas dasar harapan untuk memulihkan berbagai sektor melalui pengadaptasian kegiatan di tengah kondisi pandemi. 

Ragam istilah, mulai dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) hingga Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masayarakat (PPKM), sudah digunakan pemerintah untuk membentuk tata cara hidup baru menyesuaikan dengan batasan-batasan yang diperlukan dalam menghadapi Covid-19. 

Masyarakat awam yang sedari awal kurang melek edukasi seakan melihat ini sebagai titik terang atas berbagai permasalahan yang ada. Bahkan, banyak yang menganggap pandemi Covid-19 sudah akan selesai. 

Tidak sedikit pula yang beranggapan saat ini pandemi sudah hilang dan hidup kembali normal seperti sedia kala. Padahal kenyataanya tidak demikian. Perjalanan untuk melawan pandemi ini masihlah panjang dan terjal. Lalu, pantaskah kita menganggap new normal sebagai formula yang tepat untuk dijadikan solusi?

Pemerintah memutuskan pemberlakuan kebijakan new normal dengan melihat kondisi terkini. Sebab pemerintah berusaha menyeimbangkan pemulihan di sektor ekonomi dan sektor kesehatan yang dianggap berpengaruh. 

Terlebih melihat kondisi perekonomian Indonesia yang masih cukup rentan untuk goyah, kebijakan pemberian insentif dan injeksi likuiditas memang sudah seharusnya dilakukan. Nantinya, perekonomian masyarakat diharapkan dapat tumbuh kembali. Sehingga, sektor-sektor lainnya pun dapat pulih juga. 

Namun, penerapan kebijakan ini masih jauh dari sekadar kata 'baik'. Banyak faktor yang dapat menyebabkan hal itu. Dari sisi masyarakat, masih banyak orang yang memiliki keterbatasan mengakses informasi dan orang yang tidak peduli sama sekali dengan kondisi saat ini. Bahkan berita hoax ikut memperparah dalam kegagalan membentuk pemahaman yang benar. 

Contoh konkretnya adalah perkara vaksin yang terus saja menuai pro-kontra di kalangan masyarakat. Walaupun kondisi saat ini menunjukkan sudah banyak yang sadar arti penting vaksin dalam melawan pandemi. 

Sedangkan, pemerintah bisa dibilang kurang berhasil dalam memberikan informasi yang luas dan memadai mengenai pandemi ini. Media pun kerap kali tak mampu menyedikan informasi yang relevan. Kegagalan membentuk kesadaran masyarakat inilah yang dapat menghambat keberhasilan kebijakan new normal itu sendiri. 

Dari sudut pandang penulis, kebijakan new normal seharusnya didahului dengan strategi pembentukan kesadaran masyarakat mengenai pandemi yang tepat dan menyeluruh. 

Jika kesadaran masyarakat sudah ada, penerapan kebijakan ini tidak perlu peraturan yang terlalu banyak dan bertele-tele. Sebab pada kenyataanya aturan yang ada seakan saling tumpang-tindih ketika diterapkan untuk menyesuaikan perkembangan kondisi sosial masyarakat. Hasilnya masyarakat dibuat bingung dan penerapan adaptasi kebiasaan baru menjadi kurang efektif. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun