Mohon tunggu...
Nikolaus Loy
Nikolaus Loy Mohon Tunggu... Dosen - Dosen HI UPN Veteran Yogyakarta

Menulis artikel untuk menyimpan ingatan. Menulis puisi dan cerpen untuk sembuh. Suka jalan-jalan ke gunung dan pantai. Suka masak meski kadang lebih indah warna dari rasa.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mudik

5 Desember 2020   07:20 Diperbarui: 5 Desember 2020   17:01 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Rumah ini sudah banyak berubah dari 30 tahun lalu. Dinding bambu telah beralih jadi tembok kuning. Dulu, dari celah dinding, saya sering mengintip Merry. Ia putri semata wayang bidan Desa.

 Pembangunan telah mewujud dalam menara telkomsel di tepi desa. Jalan oto  di depan rumah, sudah mulus.  Sebelum dihotmix, jalan ini adalah sungai abu saat kemarau. Saat ada bis kayu lewat, muncul awan debu.

Hari telah soreh, saat saya tiba kemarin. Saat turun, Nina adikku bungsu diam saja. Ia lupa wajahku karena tak pernah saya kirim gambar yang terbaru. Lagipula dia sedang sibuk main HP.

"Hari ini kita ke kampung adat, Kak. Ada persiapan festival adat sesudah Natal" kata adikku membuyarkan lamunanku.

Di kampungku, akhir Desember adalah rangkaian pesta. Setelah Natal, ada festival adat tanggal 27-29 Desember, lalu ditutup dengan pesta Tahun Baru.

"Apakah pesta adat masih serame dulu" batin saya. Orang-orang takut pada corona. Lagipula, kampung agak sepi. Anak-anak muda pergi ke Kalimantan. Cari kerja di kebun sawit.

Tiga puluh  tahun lalu. Usia saya 20. Om Lamber pulang dari Sarawak. Pake rolex warna emas. Kemudian saya tahu itu rolex palsu. Ia juga bawa tep besar. 20 baterai. Tiap pagi diputarnya lagu keras-keras. Tep itu yang membuat saya akhirnya ikut Om Lamber 'melarat' ke Serawak.

 "Om Jose juga bilang nanti ada upacara kago mae (merangkul kembali jiwa) kakak.  Karena lama tak pulang dari Malaysia" Nina membuyarkan ingatanku.

Dalam tradisi kami, rumah leluhur adalah tempat jiwa. Merantau  lama tanpa khabar sama dengan  kematian. Karena itu, jiwaku harus dirangkul pulang.

 Adikku masih sibuk menata rambutnya yang keriting. Saat kami masih sekolah, saya sering meledek rambutnya sebagai sebagai hutan lindung kutu rambut. Pada raut muka adikku, ada wajah almarhum Ibu yang lembut tapi tak pernah kompromi kalau soal sekolah

"Sekolah bukan untuk jadi PNS, tetapi supaya tidak mudah ditipu orang" kata-kata Ibu yang terus diulang kalau kami terlambat ke sekolah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun