Mohon tunggu...
Nikmah Mentari
Nikmah Mentari Mohon Tunggu... Dosen - Pendidik dan Konsultan

Penulis, Pendidik, Konsultan Hukum

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Hukum di Era Digital

26 Juli 2022   12:41 Diperbarui: 26 Juli 2022   12:43 1252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pandemi Covid-19 menjadi semacam blessing in disguise bagi perkembangan era digital dan perusahaan start-up. Ketika era digital berada di puncaknya, kebocoran dan penyalahgunaan data pribadi juga menjadi polemik tersendiri. 

Semakin canggih suatu teknologi, tetap akan ada peluang peretasan dan penyalahgunaan di dalamnya. Sementara Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) menunggu untuk disahkan, UU ITE dan aturan pelaksananya setidaknya memberi payung hukum terkait penyalahgunaan di bidang transaksi informasi pada era digital. 

Data Pribadi kini menjadi aset tersendiri karena merupakan sekumpulan informasi mengenai perihal umum atau perihal spesifik sehingga tidak hanya dapat dimanfaatkan untuk melakukan pinjaman online secara ilegal, namun penawaran jasa keuangan non bank melalui surel, whatsaap, sms hingga telepon yang sangat lumrah kita alami. 

Hal ini tak lain karena segala aktifitas transaksi online dari pembelanjaan, sedekah, perjalanan, penginapan, pembayaran, transfer semua terintegrasi dalam satu genggaman gadget. yang mana semua aktfitas tersebut mewajibkan adanya data pribadi termasuk data keuangan di dalamnya. 

Tak heran, kemudian banyak kasus kebocoran maupun pencurian data yang berujung pada pembobolan rekening maupun penggunaan data untuk pinjaman online dan sejenisnya. 

Bahkan data juga dapat diperjual belikan secara bebas. Ketika teknologi bergerak lebih cepat daripada hukum, maka sudah dapat dipastikan bahwasannya akan ada kerugian-kerugian yang diderita masyarakat.

Maka tentu saja dalam hal ini aturan yang dibuat harus bersifat ius constituendum,  dalam artian eksis hingga bertahun-tahun bahkan ratusan tahun seperti halnya Burgelijk Wetboek atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maupun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Produk-produk hukum saat ini harus berbasis teknologi dan mengcover kebutuhan akan digitalisasi. Misalnya saja, kejahatan siber akan semakin marak dan rentan daripada pencurian secara konvensional.

Maka, harapannya penegakan hukum harus menyesuaikan kondisi kekinian. Sanksi pidana seyogiayanya tidak hanya berfokus pada pelaku, namun pada korban yang mana aset berharganya yakni data pribadi telah disalahgunakan (saat ini pendeketan restorative justice dalam penegakan hukum pidana mulai bergerak perlahan). 

Selain itu, perjanjian yang kini sudah mulai digunakan teknologi blockchain dengan smart contractnya perlu adanya pembaharuan terkait hukum kontrak yang selama ini masih berpijak pada KUHPerdata. 

Meski telah disampaikan penulis, bahwasannya UU ITE setidaknya mengakomodir hal tersebut, namun sekiranya pembaharuan terhadap hukum baik dari aspek pidana dan perdata terhadap perkembangan digitalisasi teknologi sangat diperlukan. 

Meski acapkali terdengar bahwa hukum tertinggal dengan teknologi, namun seyogianya, disinilah peran regulator untuk tampil di depan untuk sigap menyikapi keadaan.  Mengembalikan pada fungsi hukum ialah dalam rangka untuk mengatur ketertiban, menegakkan keadilan serta memberi rasa aman dan tentram, hukum dibuat untuk memberikan perlindungan dan memfasilitasi itu semua.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun