Mohon tunggu...
Niken Sekarsari
Niken Sekarsari Mohon Tunggu... Lainnya - mahasiswa

love your self

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menikahkan Korban dan Pelaku Kekerasan Seksual Bukan Jalan Keluar Terbaik

22 Juni 2021   14:31 Diperbarui: 22 Juni 2021   14:41 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Isu kekerasan dan pelecehan seksual merupakan isu yang sedang marak berkembang dan sering diperbincangkan baru baru ini. Menurut Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA),berdasarkan hasil laporan Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak atau (Simfoni-PPA), telah tercatat bahwasannya dari total 1.008 berbagai macam kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, terdapat 426 diantaranya yang spesifik dikategorikan sebagai kasus kekerasan sosial.

Banyak sekali kasus kasus atau berita terkait kekerasan serta pelecehan seksual yang telah kita jumpai atau dengar melalui berbagai media konvensional juga media online sekalipun. Tidak hanya sampai disitu saja, berita yang mengangkat isu isu kekerasan dan pelecehan seksual juga kerap kali ramai di jejaring sosial atau lebih sering disebut sosial media seperti twitter, instagram, facebook dan masih banyak platform sosial media lainnya. Seringkali nama pelaku serta titel pelaku tersebut masuk kedalam daftar kata kunci populer atau fitur kolom trending yang ada di twitter, karena setelah berita dibaca kebanyakan netizen akan menyuarakan opininya terkait berita tersebut, serta ada pula netizen yang membahas dan mengulas ulang berita tersebut menjadi sebuah utas yang membuat berita itu semakin mendapat atensi lebih.

Pelecehan seksual sendiri memiliki artian sebagai perhatian yang tidak diinginkan atau secara hukum memiliki definisi "imposition of unwelcome sexual demands or creation of sexually offensive environments". Maka dari itu pelecehan seksual memiliki unsur segala perilaku berupa tindakan fisik, lisan atau isyarat, serta bentuk - bentuk perhatian bersifat seksual yang tidak diinginkan atau menimbulkan penolakan terhadap seseorang yang membuat pribadi tersebut tersinggung.

Ada Pula beberapa pasal dalam hukum yang dibuat guna mengadili kasus kasus terkait pelecehan seksual yaitu telah tertera pada Kitab Undang - Undang Hukum Pidana (KUHP) mulai pasal 289 sampai dengan pasal 296. Ditambah dengan syarat syarat pembuktian hukum pidana yang telah tertulis pada pasal 184 Undang - Undang No 8 Tahun 1981 dalam Kitab Undang - Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), tuntutan bisa didukung dengan 5 macam alat bukti yang sah yaitu: 1). keterangan saksi, 2). keterangan ahli, 3). Surat, 4). Petunjuk, 5). keterangan terdakwa.

Salah satu contoh kasus kasus kekerasan seksual yang sedang ramai diperbincangkan di beberapa platform media sosial baru - baru ini adalah salah satunya kasus yang melibatkan anak DPRD Kota Bekasi sebagai tersangkanya, jika ditarik kesimpulan secara garis besar kasus tersebut merupakan kasus dimana Anak DPRD Kota Bekasi yang berinisial AT (21 Tahun) melakukan kekerasan seksual terhadap anak dibawah umur dengan inisial PU (15 Tahun) yang masih terbilang usia anak atau belum dewasa. Akan tetapi setelah diusut lebih jauh polisi juga menemukan fakta mengejutkan lainnya yaitu selain melakukan kekerasan seksual yang berupa pemaksaan, kekerasan fisik , dan pemerkosaan terhadap korban, pelaku juga menawarkan dan menjual korban pada salah satu jejaring sosial atau aplikasi yang bernama Mi Chat.

Terhitung dari bulan Mei hingga saat ini kasus ini masih menggantung, pelaku hanya diusut serta diselidiki dan belum diketahui keputusan finalnya hukuman apa yang akan dijatuhkan terhadap AT (21) terkait kasus ini, padahal ayah korban sudah mengumpulkan dan memberikan semua semua bukti mulai dari surat laporan, keterangan korban, keterangan saksi - saksi, bukti visum, serta barang bukti seperti pakaian korban kepada pihak kepolisian. Karena hal tersebut beberapa orang juga mempertanyakan tentang bagaimana kinerja pihak kepolisian, selain itu juga yang menjadi masalah dan membuat sebagian masyarakat Indonesia di sosial media mengungkapkan rasa geramnya terhadap polisi ialah bahwa tindakan akhir yang diusulkan dalam kasus ini merupakan upaya menikahkan korban dengan pelaku.

Atas perbuatannya, AT sebenarnya bisa dijerat dengan hukum Undang - Undang Pasal 81 ayat (2) jo 76 D UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, yang didalamnya terdapat beberapa point - point yang mendukung, karena didalam pasal tersebut berbunyi:

  1. Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
  2. Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Untuk di posisi korban sendiri, PU sudah seharusnya mendapatkan perlindungan dari hukum yang ada, karena untuk korban yang notabenenya adalah seorang anak dengan usia dibawah 18 tahun bisa dikatakan tidak ada persetujuan yang murni dan jelas untuk melakukan hubungan seksual, maka hubungan tersebut dikategorikan sebagai pemerkosaan orang dewasa terhadap anak - anak yang harus dinyatakan sebagai tindak pidana. Dari pernyataan tersebut korban bisa mendapatkan dukungan perlindungan melalui UU 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang di beberapa dalamnya tertera butir butir sebagai berikut:

  1. Bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia;
  2. Bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Selain pasal di atas, ada pula UU no. 21 thn 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dimana pada pasal pertama juga dibahas terkait perdagangan orang termasuk tindakan yang membuat orang tereksploitasi.

Informasi yang terbaru terkait kasus ini adalah adanya upaya agar mereka berdua yaitu korban (PU) dan tersangka (AT) untuk dinikahkan saja. Hal - hal seperti kasus pemerkosaan atau pencabulan yang berujung damai atau hanya dengan penyelesaian kasus secara menikahkan kedua belah pihak entah itu karena faktor aib, intimidasi dari salah satu pihak, ataupun tawaran materi memang tampaknya bukan hal yang mengejutkan lagi, karena sudah banyak dan terlalu sering terjadi di Negara Indonesia yang keadilan hukumnya masih terbilang lemah untuk kasus seperti ini.

Seperti yang sudah tertera dalam Pasal 26 UU No. 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, di dalamnya telah tertulis bahwa orang tua memiliki kewajiban untuk mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi Anak, serta terdapat point yang berbunyi bahwasannya orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak. Dan memang sebenarnya penyelesaian kasus - kasus seperti ini dengan berujung pernikahan atau perkawinan tidak bisa menjadi sebuah jalan keluar yang baik, karena mengingat keadaan tersebut akan merugikan bagi pihak korban. Korban akan merasa dirinya tidak mendapat cukup keadilan, dan terlebih harus terkurung hidup satu atap dengan pelaku. Keadilan dalam kasus kasus seperti ini memang harus lebih ditegakkan lagi, agar setidaknya bisa menimbulkan efek jera terhadap pelaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun