Mohon tunggu...
Niji No Saki 1107
Niji No Saki 1107 Mohon Tunggu... -

benci shopping mall

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Seri Belajar dari Jepang: I. Budaya Malu dan Service-oriented Society

16 April 2010   18:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:45 1672
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_120049" align="alignright" width="287" caption="(http://waystosayhello.wordpress.com)"][/caption]

“Kenapa orang Jepang banyak bunuh diri?“

Saya pikir sudah bukan rahasia lagi kalo Jepang adalah salah satu negara dengan angka bunuh diri tertinggi di dunia. Menurut survery WHO, data tahun 2006 menunjukkan bahwa Jepang menempati urutan ke-6 di seluruh dunia, di mana angka ke 1 s/d ke-5 didominasi oleh negara-negara eks Uni Soviet. Di antara negara-negara maju, Jepang masih menduduki rangking pertama dalam jumlah bunuh diri per tahun.

Selama saya tinggal di Jepang berita bunuh diri di TV hampir sama frekuensinya dengan berita kawin-cerai selebriti kita di tanah air. Kereta pun beberapa kali mandeg ataupun terlambat dikarenakan seseorang merelakan dirinya untuk dicium kereta yang sedang melaju. Penyebab utama bunuh diri rata-rata disebabkan oleh depresi, tekanan sosial diikuti dengan hal-hal yang berkenaan dengan pekerjaan.

Fenomena bunuh diri (Seppuku) erat kaitannya dengan budaya malu orang Jepang. Seppuku adalah bagian dari sikap kesatriaan (Bushido) seperti halnya chivalry dalam budaya lama orang Eropa. Tidak seperti masyarakat kita yang mempunyai toleransi sangat tinggi dalam menerima kekhilafan dan kesalahan orang lain, orang Jepang mempunyai nilai-nilai sosial yang sangat strict dan tuntutan konformitas yang cukup tinggi, bahkan hingga hari ini. Mereka sangat menjunjung tinggi kesempurnaan dan hal itu telah mendarahdaging dalam kehidupan bermasyarakatnya. Mereka akan sangat malu jika dianggap tidak perform atau tidak deliver. Tuntutan untuk selalu menjadi yang terbaik itulah yang membuat tingkat stress cukup tinggi di kalangan pekerja (salaryman) di Jepang.

Tak bisa disangkal bahwa budaya malu pulalah adalah salah satu propeller mereka menjadi salah satu raksasa ekonomi dunia, hanya dalam waktu 20 tahun setelah diluluhlantakkan perang dunia II. Tiap orang akan merasa malu jika tidak berkarya, tidak berusaha sekeras yang mereka bisa. Jangan tanya soal toleransi kesalahan,bukan hanya teguran atau sanksi normatif, reputasi taruhannya. Kesalahan kecil yang terlihat ‘biasa’ di media kita bisa menjadi skandal yang sangat besar di Jepang. Sebagai contoh, beberapa tahun lalu pernah terjadi kecelakaan kereta yang menewaskan beberapa orang (saya lupa penyebabnya). Salah satu petinggi JR (Japan Railway) langsung memberikan pernyataan di televisi. Sambil menyampaikan bela sungkawa ke keluarga korban, ia membungkuk sedalam-dalamnya sebagai ekspresi rasa bersalah. Seakan tak cukup, ia kemudian  duduk bersimpuh menghadap papan nama-nama korban meninggal, menangis, sebelum kemudian mundur dari jabatannya. Skandal wanita simpanan seorang menteri yang sempat mencuat ke permukaan tahun lalu kemudian membuatnya juga meletakkan jabatannya karena rasa malu. Bandingkan hal ini dengan pejabat kita yang ketahuan korupsi atau merekayasa kasus.

Satu hal lain yang teramat saya kagumi selain budaya malu adalah budaya untuk memperhatikan dan melayani orang lain. Jika di Indonesia kita mengenal orang Jogja dan Solo terkenal akan kehalusan bahasa dan sopan santunnya, orang Jepang lebih santun dari orang Jawa. Masuklah ke kombini (mini market), warung makan atau restoran, semua pegawai akan segera menyapa anda dengan sapaan ‘irasshaimase…‘ (selamat datang). Di tempat-tempat pelayanan publik, anda akan dipanggil dengan sebutan ‘o-kyaku-sama’ (pelanggan yang terhormat, awalan ‘o-‘ di depan huruf menunjukkan rasa hormat, begitu juga dengan panggilan ‘-sama‘ yang setingkat lebih tinggi daripada panggilan yang lebih umum, ‘-san‘). Sedemikian tingginya mereka menghargai pelanggan. Adalah suatu kebanggaan profesi bagi mereka untuk memberikan pelayanan sebaik-baiknya. Datanglah ke kantor pelayanan publik dan tidak akan anda jumpai pegawai meninggalkan posnya untuk ngobrol, ngopi atau baca koran. Semua sibuk, bergerak kesana-kemari seperti semut. Jika sudah tiba giliran anda untuk dilayani, kata pertama yang akan mereka ucapkan adalah ‘o-matase itashimashita..’ (terjemahan bebasnya: ‘terimakasih telah menunggu’. Awalan ‘o-‘ di sini menunjukkan rasa hormat, sedangkan ‘itashimashita’ adalah kata kerja dalam bentuk yang paling halus, semacam kromo inggil dalam bahasa Jawa).

Budaya melayani dan mendahulukan orang lain ini bisa anda lihat dimana-mana. Jika anda berkesempatan bertamu ke rumah orang Jepang, jangan kaget jika alas kaki yang semula anda lepaskan menghadap ke dalam rumah, ketika anda akan pulang sudah berganti ke arah yang sebaliknya. Tuan rumah pastilah telah mengaturnya agar anda tidak perlu repot-repot membalikkan badan jika akan keluar nanti. Jika anda naik kereta dan bus, anda tidak diperkenankan menelepon dengan HP karena dikhawatirkan mengganggu orang di dekat anda. Anda juga akan menjumpai ’courtesy seat‘ yang khusus diperuntukkan untuk manula, ibu hamil, ibu yg menggendong anak dan orang-orang dengan keterbatasan fisik. Di beberapa toilet umum kadang kita diminta untuk menyeka wastafel agar tetap kering ketika orang lain akan mempergunakannya.

Dari usia dini, budaya saling melayani ini telah ditanamkan di sekolah dasar dan TK. Kalau di Indonesia kita mengenal kata piket, di Jepang pun ada, dengan tanggung jawab yang lebih banyak. Kelompok-kelompok piket yang bertugas bukan hanya membersihkan kelas saja, tapi juga membantu memasak dan menyiapkan makanan untuk teman-temannya, menyiram tanaman dan memberi makan binatang piaraan di sekolah. Di hari-hari tertentu jika ada kegiatan bersih-bersih massal, semua orang turun tak terkecuali, termasuk para pimpinan. Kalau di Indonesia hal tersebut harus diabadikan dalam bentuk foto untuk mengesankan kesungguhan dan kerja keras, di Jepang tidak perlu karena sudah merupakan hal yang wajar. Yang tidak wajar adalah jika ada yang tidak berpartisipasi.

Budaya perhatian terhadap orang lain ini kadang terkesan lucu bagi saya. Di kereta pernah saya liat papan peringatan yang bunyinya menggelitik. Contoh: “jaket musim dingin yang anda kenakan sangat tebal, perhatikan agar jangan sampai menyenggol orang di sekitar anda.“,atau “Perhatikan volume headset yang anda gunakan, jangan sampai mengganggu orang lain.“ (headset lo, bukan speaker..) dan masih banyak lagi lainnya :D

Kebudayaan mendahulukan dan melayani orang lain ini bersumber dari ajaran Zen Buddhism. Melayani menumbuhkan rasa rendah hati dan kepekaan diri. Ironisnya, masyarakat Jepang yang rata-rata tidak beragama justru masih sangat teguh memegang tradisi ini. Betapa indahnya jika kita saling melayani, betapa damainya jika sifat rendah hati dan saling peduli menjadi keseharian kita. Kita yang mengaku beragama ini, mampukah kita mengamalkan ajaran agama dalam ranah hablum minannas (antar manusia) seperti halnya orang Jepang?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun