Mohon tunggu...
Nidya Dwi Megumi
Nidya Dwi Megumi Mohon Tunggu... O - Seorang Mahasiswa Ilmu Komunikasi

Nidya Dwi Megumi seorang Pejuang Komunikasi yang kuliah di Prodi Ilmu Komunikasi, Universitas Respati Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pahit Manis Sang Pemilik Toko Kelontong

5 Agustus 2021   12:43 Diperbarui: 5 Agustus 2021   13:01 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Matahari belum menampakan sinarnya, namun seorang manusia yang umurnya sudah tidak bisa dikatakan muda lagi telah bersiap pergi ke pasar. Dengan sepeda merahnya ia goes menuju pasar yang letaknya sepuluh menit dari rumahnya. Setelah sampai disana, ia bergegas menuju satu toko ke toko lainnya untuk memenuhi segala perlengkapan dan kebutuhan yang ia sudah catat sebelumnya. Setelah satu jam berkeliling, tangan kanan dan kirinya sudah penuh berbagai belanjaan. Mulai dari sabun, bumbu dapur atau bahkan jajanan ringan lainnya. Dibelakangnya, ia dibantu seseorang yang membawakan barang-barang yang dibeli lainnya. Ia mengikatkan semua barang-barangnya pada sepeda merahnya itu.Setelah sampai dirumahnya, ia mulai menata barang-barangnya untuk dijual kembali. Setelah semuanya rapi, ia membuka kedai kecil miliknya itu. 

Dia adalah Ibu Ponyah, ia adalah seorang pemilik toko kelontong kecil di pinggir jalan. Pekerjaannya tak selesai, ia duduk dan menunggu pembeli yang ingin membeli dagangannya. Usianya sudah tak lagi muda, namun ia masih semangat untuk membantu keluarganya untuk mencari nafkah. Ketika ditanya kenapa memilih membuka toko kelontongnya ditengah sudah banyak toko modern disekitar ia hanya menjawab, “Kebutuhan ekonomi sih mba, buat memenuhi kebutuhan saya sama keluarga jadi buka toko ini. Kebetulan dulu sempet jualan juga buka toko sembako tapi tutup, beberapa tahun ini baru mulai lagi.”

Saat ditanya bagaimana dengan pendapatan yang ia dapat dari toko kelontongnya itu, ia menjawab, “Kalau sekarang ya lumayan lah agak turun karena ya banyak yang hutang dan lagi situasi kaya gini juga. Jadi ya 400.000 paling sedikit. Kalo satu bulan ya sekiranya bisa sampai 1.000.000 lebih lah mba, itu kalau saya tidak libur.”

Ketika ia ditanya apa saja hambatan yang ia dapat saat membuka toko kelontong ini, ia mengungkapkan, “Kalau hambatan ya paling karena virus corona aja jadi ya agak turun, terus ada toko yang lebih lengkap juga disini kan ya saya jualan sebisa saya, mba. Jadi ya paling itu sih kendalanya”

Tak dipungkiri, toko kelontong miliknya yang tersedia di pinggir jalan di Kota Cilacap itu bersaing dengan minimarket disebelahnya yang memiliki sektor pembeli lebih luas dan juga kelengkapan barang lebih terjamin menjadi salah satu hambatannya dalam mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi. Sehari-hari toko kelontongnya hanya didatangi beberapa pembeli saja, padahal minimarket disebelahnya tak pernah sepi pembeli. Apalagi posisinya dengan keadaan pandemi seperti ini, minimarket mempunyai berbagai cara memasarkan barang-barang yang ia jual. 

Mulai dari berjualan dengan protokol yang lengkap dan menggunakan sebuah metode dimana pembeli dapat berbelanja cukup dari rumah saja, dengan mengirimkan pesan barang-barang apa saja yang ingin dibeli, selanjutnya akan dikirimkan ke rumahnya. Perbedaan modal yang digunakan untuk melengkapi kebutuhan satu sama lain pun beda. Toko kelontong miliknya memiliki modal yang jauh lebih sedikit daripada milik minimarket. Selain itu, toko kelontong miliknya yang masih memiliki sistem tradisional hanya bisa menunggu pelanggan yang datang sendiri dan akan dilayani ditempat.

Ketika ditanya ada tidaknya strategi yang ia lakukan untuk mengatasi hambatan yang ia dapat itu, ia menuturkan, “Ya gimana ya mba, saya gak pakai strategi apa-apa hanya berusaha dan berdoa. Kalau masalah strategi paling mencoba untuk melengkapi barang sih mba, saya yakin rezeki saya sudah di atur Allah.”

Dalam hal ini ada pelajaran yang bisa diambil dari kisah Ibu Ponyah dalam berdagang dengan membuka toko kelontongnya itu. Meskipun sudah tidak lagi muda di dalam hidupnya ia tidak menyerah dan tetap terus berusaha serta berjuang untuk mendapatkan hasil yang benar-benar memuaskan. Ia tak pernah lelah, ia tetap bekerja untuk memenuhi kebutuhannya meskipun banyak hambatan yang dialaminya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun