Mohon tunggu...
Nida Nur Hanifah
Nida Nur Hanifah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Islam Negri Sunan Kalijaga - 21107030016

If Happy Ever After Did Exist

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ayah, Mengapa Kami Berbeda? Beginilah Sang Difabel bila Jatuh Cinta

19 Februari 2022   14:12 Diperbarui: 19 Februari 2022   14:53 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
suasana pelatihan Short Course Metodologi Riset dan PkM Mahasiswa (doc.pri Imam Muhtadi)

Dalam suatu kehidupan, manusia diciptakan sebagai mahluk sosial yang saling bergantung kepada manusia lain. Manusia mempunyai karakteristik masing-masing yang saling berbeda satu sama lain entah dari warna mata, warna kulit, budaya, bahasa atau keyakinan. Karena perbedaan inilah, manusia adalah salah satu mahluk yang hidup dalam kelompok-kelompok.

Suatu waktu saya berbincang hangat dengan sahabat-sahabat saya dari program studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah yang baru saja mengikuti pelatihan Short Course Metodologi Riset dan PkM Mahasiswa  disebuah rumah inklusif di Kebumen pekan lalu.

Kegiatan pelatihan tersebut adalah tindak lanjut kerjasama  LPPM (Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat) IAINU (Institut Agama Islam Nadhlatul Ulama ) Kebumen dengan Rumah Inklusif. Dalam obrolan tersebut saya banyak memaknai banyak hal yang akan saya tuangkan kedalam ketikan-ketikan sederhana ini.

Rumah Inklusif adalah rumah cinta untuk mereka yang "sudah" dianggap oleh masyarakat umum "berbeda". Rumah Inklusif adalah rumah harapan bagi mereka yang "kadang" di anggap oleh masyarakat umum "aneh". Padahal, manusia diciptakan oleh Tuhan semuanya berbeda-beda dan istimewa.

Rumah Inklusif yang kami bicarakan pada sepenggal baris tadi adalah salah satu bentuk bukti bahwa dalam sebuah kehidupan manusia mempunyai ciri khas masing-masing. Manusia mempunyai posisi istimewa yang berbeda-beda. Perbedaan itulah yang seharusnya mampu kita tanggapi dengan sikap toleransi, rendah hati dan menerima. Masyarakat memang seharusnya tidak perlu memandang sebelah mata dengan perbedaan-perbedaan yang ada. Rumah Inklusif yang juga disebut sebagai Kelompok Difa, adalah rumah yang menghimpun anak-anak penyandang difabel.

Dalam pelaksanaan pelatihan di Rumah Inklusif tersebut, dihadirkan tiga belas anak-anak tunawicara dan tunarungu. Tidak! Jangan sebut begitu, dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) tu-na mempunyai arti luka; rusak; tidak memiliki. Anak-anak itu tidak menyukai sebutan tersebut, karena mereka tidak kurang hanya saja berbeda cara untuk mampu bicara dan mendengar. Sebut saja mereka si Tuli ( yang mengalami gangguan pendengaran) begitu katanya. Memang benar faktanya mereka tidak cacat, rusak atau bahkan tidak punya, mereka hanya mempunyai gangguan dalam mendengarkan. Hal lucu lagi, mereka saling memanggil dengan sebutan si Tuli itu.

Tiga belas anak tersebut kemudian dimasukan ke dalam masing-masing kelompok yang terbagi menjadi tiga belas kelompok. Mereka saling berinteraksi menggunakan bahasa isyarat yang sebelumnya telah dibimbing oleh pemateri. Suasana menyenangkan dalam pelatihan tersebut memberikan makna bahwa, mereka tidak merasa tidak seberuntung apa yang selama ini kita kira. Mereka senang berinteraksi dengan orang lain pada umumnya. Saling memberikan pelajaran tentang kehidupan yang selama ini mereka jalani.

Sempat ada pertanyaan jahil yang dilontarkan sahabat saya kepada salah satu Si Tuli tersebut, dan menurut saya ini sangat cocok untuk ditandai. Sahabat saya bertanya begini " Apa kamu pernah jatuh cinta? Berpacaran, atau sekedar suka?" Sebut saja si Tuli ini si R. Katanya, si R dia tidak pernah berpacaran, untuk menggambarkan perasaan cinta seperti apa mungkin juga susah untuk menjelaskan dengan bahasa isyarat. Paling hanya bahasa yang menggambarkan kasih sayang dan saling memberi. "Hanya suka " begitu kata si R dalam bahasa isyarat.

Lalu sahabat saya melontarkan pertanyaan lagi, "Kalau patah hati dan sakit hati karena cinta kamu pernah gak?" Setelah ini jawaban si R membuat kami, saya khususnya merasa terketuk. Begini,ucap si R (dalam bahasa isyarat) "Dalam hidup kami, kami hanya mengenal semangat dan pantang menyerah, untuk masalah cinta dan patah hati kami tidak terlalu mengenalnya. Kami selalu bisa untuk saling berkasih sayang dan saling menyemangati satu sama lain dengan sesama teman yang senasib. Kami harus selalu semangat dan bahagia."

Kebahagiaan dan semangat memang rasanya lebih penting untuk mereka. Kebahagiaan sangat berpengaruh pada kondisi psikologis manusia, oleh karena itu bahagia sangat diperlukan untuk menjalani kehidupan dengan lebih bergairah dan penuh semangat. Tidak ada yang mampu membatasi semangat setiap orang. Semua berhak mendapatkan pengakuan sederajat yang sama dalam kedudukannya di kehidupan.

Ada satu hal yang perlu diluruskan lagi dalam prespektif kebanyakan orang. Anggapan bahwa mereka "berbeda" yang sudah lama berstatus di pandangan masyarakat membawa anggapan bahwa semua anak berkebutuhan khusus harus berhak mendapatkan pendidikan yang sama dengan anak lain pada umumnya, seperti mengenyam pendidikan di sekolah umum atau sekolah negri bukan di tempat sejenis sekolah luar biasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun