Mohon tunggu...
Tatang Tarmedi
Tatang Tarmedi Mohon Tunggu... Jurnalis - Untuk share info mengenai politik, ekonomi, sosial dan budaya.

Hidup akan jauh lebih bernilai, jika kau punya sebuah tujuan penting.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ayahku Suka Bikin Pening (2)

28 Januari 2021   05:52 Diperbarui: 28 Januari 2021   06:34 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Kadang aku suka terkesima bila lihat ayah di kamarnya terkumpul bahan-bahan untuk kematian. Seperti kain kafan, kapas dan lainnya. Ayah bilang, ini persediaan buat nanti mati. Kadang, katanya, di hari kematian seseorang, keluarga suka kelabakan cari kain kafan. Apalagi bila meninggalnya malam hari.Nggak, maksudku ayah, apa ayah tak miris kumpulkan bahan-bahan kematian ? Pernah aku tanyakan hal itu kepada ayah. Namun, ayah hanya tersenyum kecil, " Kenapa meski takut mati. Semua bakal ngalami, " jawab ayah. Bahkan, kata ayah, kita harus tahu mati sebelum mati.Mana bisa ayah. Kematian itu rasia Tuhan kan ?  Orang tak bakal tahu, kapan ia mati. Gimana ayah ini ah.
" Memang benar nak, kematian itu hanya Tuhan yang tahu. Namun, Tuhan itu sebenarnya telah menurunkan ilmu agar manusia bisa rasakan akan datangnya ajal kita. Agar kita waspada dan berkemas untuk kepergiannya," kata ayah.
Aneh-aneh saja ayahku. Sejak lama ia hilang dari kampung halamanku, tiba-tiba ayah datang kembali membawa perubahan dalam dirinya. Tentang mati. Ayah paling suka bicarakan tentang kematian. Ia bilang banyak orang tua dulu yang berkata benar tentang hari kematiannya. Itu kata ayah, karena ia telah hapal ilmunya.
" Ayah, kalo boleh saya tahu, gmana bisa tahu tentang hari kematian ? " kadang aku suka tanya itu. Aku tak ingin ayah tersesat dalam hidupnya. Sebab, aku yakin, mati itu urusan Tuhan. Ayah pernah jawab pertanyaanku. Jawabannya tak gunakan fakta ilmiah atau keagamaan yang lazim.
Kata ayah, bila orang telah tahu ilmu Astana Sejengkal, niscaya orang akan hapal isyarat kematiannya " Kematian itu nak, satu peristiwa besar bagi seseorang. Tuhan akan kehilangan sifat Maha Kasihnya bila ia tak turunkan isyarat kematian seseorang. Nah, Tuhan telah turunkan ilmunya untuk itu, " kata ayah seperti yakin akan omongannya.
Coba apa itu ayah ? Aku ingin tahu, seberapa besar ayahku ini memiliki katanya ilmu tentang kematian. Setelah aku tahu seberapa besar muatan ilmunya itu, baru aku akan sadarkan ayah akan kekhilafannya. Maaf aku ayah. Untuk hal ini, aku tak akan berpihak kepada ayah.
" Isyarat kematian seseorang dimulai dari ungkapan kunci, bulu telah pergi ke kulit, kulit telah pergi ke daging, daging telah pergike tulang dan tulang telah pergi ke mani geusan ngajadi. Ini rumus keberangkatan seseorang, " kata ayah.
" Okelah ayah, lalu apa hubungannya ungkapan itu dengan hari kematian.? Tanyaku.
" jelas, itu ada, nak. Setiap ruas-ruas tadi, ada ukuran waktunya," jawab ayah. Benar, aku dibuat pening. Omongan ayah tak ingin masuk ke dunia realita. Aku ingin berontak terhadap ketidak sepahamanku. Tapi, bukan saatnya untuk aku menentang keyakinan ayah seperti itu.
Makin dekat ke arah ke matian, rumusnya akan lain lagi. Kata ayah, terakhir sekali, setiap manusia akan dihadapkan pada realita tidak tampaknya Gunung Nursinah dihadapan kita, " Nah, itulah nak. Isyarat kematian terakhir yang diberikan Tuhan untuk kita," kata ayah sembari menatap wajahku. Aku kian merasa bingung tentang keyakinan ayah. Gunung Nursinah itu setahuku ada di Arab Saudi. Apa itu simbol dalam diri manusia. Aku masih tak paham.
Aku tak mau memberontak terhadap apa yang diyakini ayah. Biarkan saja waktu yang menjawab. Hanya, aku berpikir, akhir-akhir ini ayah begitu giat kumpulkan bahan-bahan untuk kematiannya. Apa beliau telah mengukur seberapa jauh lagi kematiannya. Aduh, ayah, aku sebenarnya tak ingin ayah terlambat untuk sesali tentang segala keyakinan ayah. Tapi, ketika benar omongan ayah nanti, bahwa waktu akhir hayatnya sesuai apa katanya. Aku tak tahu akan berpikir apa tentang keyakinan ayah itu. ( Tatang Tarmedi ) cikimm.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun