Mohon tunggu...
Nicholas Aditya Budi Rukmana
Nicholas Aditya Budi Rukmana Mohon Tunggu... -

Profile ini merupakan penulisan bebas yang dilakukan penulis untuk mengisi waktu senggang atau mendapatkan tugas dari kampus. Penulis masih menempuh perkuliahan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Jurnalisme Masa Kini, Antara Hoaks dan Kebutuhan

14 Oktober 2018   20:41 Diperbarui: 15 Oktober 2018   10:43 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berita Hoax Merambat Begtu Deras dan Sangat Berbahaya. (Doc : Amston Probel TEMPO.CO)

Jurnalisme Masa Kini : Antara Hoax dan Kebutuhan

Refleksi Sebaran Informasi Atas Kasus Ratna Sarumpaet

Kata Kunci : Hoax; Kebutuhan Mata; Kepuasan; Bisnis; Ketepatan; Kecepatan; Verifikasi

Oleh: Nicholas Aditya Budi Rukmana (13 09 05090)

                Tiga oktober 2018, masyarakat Indonesia dikejutkan dengan berbagai sebaran foto wajah lebam Ratna Sarumpaet (RS) melalui broadcast di aplikasi pesan. Dalam foto tersebut dijelaskan bahwa luka lebam RS adalah ulah dari penganiayaan yang terjadi di pelataran parkir Bandara Bandung. Tak ayal, informasi tersebut membuat khalayak menjadi ramai. RS yang dikenal sebagai seseorang yang lantang terhadap Pemerintah dan masuk menjadi Tim Sukses Nasional kubu oposisi Pemerintah menjadi makanan sedap bagi awak media. Prabowo disertai dengan Amien Rais dan elite partai melakukan konferensi pers terkait penganiayaan tersebut. Banyak media massa yang meliput konferensi pers dari Prabowo cs, tak terkecuali media massa online. Menilik pada laman berita online, isi yang dimunculkan hanya mengambil sudut pandang dari Prabowo Cs, tanpa terlebih dahulu menanyakan kepada RS. Bahkan, RS tidak pernah mengeluarkan pernyataan terkait penyerangan kepada media massa. Masyarakat semakin gaduh akibat konferensi pers yang dilakukan oleh Prabowo Cs. Hal ini menimbulkan gejolak keras pada gerakan warga net di laman sosial mereka dan juga tautan komentar pada ratusan berita terkait hal ini, sebagian dari mereka mengutuk bahkan mencemooh pemerintah. Ketika polisi menjelaskan kepada media bahwa mereka tidak menemukan aktifitas penganiayaan, sebagian publik merasa tidak percaya dan mencemooh polisi dengan kejam. Akhirnya melalui konferensi pers, RS mengakui bahwa penganiayaan yang terjadi kepadanya adalah sebuah kebohongan. Hal ini juga menjadi penutup dari perdebatan masyarakat terkait peran Pemerintah dalam kasus penganiayaan seorang aktivis.

Ironis melihat masyarakat Indonesia seakan terbelah menjadi dua karena berita. Ada yang percaya dan ada pula yang tidak percaya. Menilik dari Lima fungsi dasar pers, dijelaskan peran pers untuk mampu memberikan infomasi yang dibutuhkan khalayak dan memiliki kriteria actual, faktual, menarik, penting, benar, jelas dan jujur. Sedangkan dalam hal edukasi, peran pers harus mampu memberikan kebenaran informasi yang dapat dijadikan landasan para pembaca untuk dapat memperoleh informasi yang mampu meningkatkan wawasan serta pengetahuan, walau peran komersil harus tetap ada. Fungsi koreksi tidak terlepas dari peran pers sebagai pilar demokrasi untuk mengontrol dan mengawasi kerja aparatur pemerintahan. Pers harus mampu menjadi pengawas beserta corong bagi para masyarakat dalam menjaga kehidupan demokrasi yang sehat dalam suatu kehidupan bernegara. Rekreasi merupakan fungsi pers yang harus mampu menjadi sarana hiburan bagi pembacanya melalui gaya tulisan ataupun berita ringan yang tetap dapat dipertanggung jawabkan isi. Lalu fungsi mediasi merupakan peran media sebagai fasilitator dan mediator dalam berbagai aspek kehidupan bernegara. Media massa mampu memberikan informasi yang tepat, akurat dan cepat untuk dapat menjadi rujukan serta fasilitator dalam kehiudupan bernegara.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh MIT yang ditulis dalam tautan milik New York Times, dijelaskan bahwa pemberitaan yang bersifat bombastis dan salah seringkali lebih mudah tersebar secara luas dan massif ketimbang pemberitaan biasa. Hal ini disebutkan karena besarnya daya pikat fake news karena seringkali kata-katanya yang bersifat hiperbola dan memiliki judul yang sangat menarik ketimbang pemberitaan pada umumnya. Inilah yang membuat public merasa sangat mudah untuk menyebarkan pemberitaan terkait RS karena nilai Bombastis yang muncul dari kata-kata serta judulnya. Berita tersebut memang dirancang untuk memberikan kehebohan ketimbang informasi yang sudah diverifikasi dan dipertangung jawabkan kesemua pihak yang terkait.

Dalam menyikapi persoalan zaman, media diharapkan mampu menjadi corong kebenaran dan informasi seperti kodrat seharusnya. Perubahan zaman, kecepatan informasi diharapkan mampu menjadi peluang untuk membuka lembaran penyebaran arus informasi yang kredibel dengan kecepatan tinggi. Wartawan diharuskan untuk semakin peka terhadap isu sosial serta mampu melakukan analisis dampak yang sangat baik. Dijelaskan oleh Paul Bradshaw, bahwa Wartawan harus menguasai prinsip BASIC. Yakni Breverity, Adaptibility, Scannibility, Interactivity, Community and Comunication. Kelima hal tersebut dibuat demi tercapainya tulisan yang bisa mudah dibaca, interaktif sekaligus bisa dipercaya karena banyaknya data yang tersaji dalam suatu berita. Pemanfaatan platform online setidaknya harus memperhatikan prinsip BASIC tersebut.

Korporasi dilain pihak, media memang sebuah lembaga ekonomi yang memiliki orientasi kepada keuntungan. Akan tetapi tidak baik jika Media hanya memandang dari segi ekonomi saja. Media merupakan corong demokrasi, setidaknya wartawan dan pekerja media harus mampu untuk bahu membahu membangun media yang dapat dipertanggung jawabkan dan tidak melulu mementingkan kecepatan yang akan berimbas kepada berita palsu belaka.

Dibutuhkan media massa yang mampu beradaptasi dengan isu lingkungan sosial serta ekonomi. Dalam segi lingkungan sosial, media diharapkan mampu lebih peka membaca gejolak yang dapat muncul akibat Dari pemberitaan yang tendensius dan tidak berimbang. Mementingkan kecepatan dengan mengabaikan dampak sosial, begitulah media masa kini.

Nasi sudah menjadi bubur, akan tetapi bubur juga bukan merupakan hal yang buruk, bukan? Sudah semestinya kita kembali merefleksikan dampak dari kecepatan pemberitaan tanpa adanya verifikasi dari pihak yang bersangkutan. Kasus ini walau merupakan preseden buruk bagi kehidupan politik di Indonesia, akan tetapi menjadi sebuah pembelajaran yang berharga, baik dari diri kita sendiri sebagai individu untuk jangan mudah mempercayai omongan siapapun tanpa melalui verifikasi dan juga sebagai media untuk lebih berhati-hati untuk mengeluarkan berita. Selain dari sumber yang kredibel, verifikasi terhadap orang yang bersangkutan sudah mutlak hukumnya. Kasus RS telah menjadi pelajaran yang sangat mahal bagi masyarakat Indonesia beserta media, mari kita manfaatkan sebagai suatu refleksi yang akan membimbing kita menuju kearah yang lebih baik.

REFERENSI

https://www.nytimes.com/2018/03/08/technology/twitter-fake-news-research.html

https://nasional.kompas.com/read/2017/05/15/22045031/krisis.dalam.jurnalisme

https://ayomenulisfisip.files.wordpress.com/2011/02/basic-principles-of-online-journalism-english.docx

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun