Mohon tunggu...
Agnia Melianasari
Agnia Melianasari Mohon Tunggu... Lainnya - Manusia pembelajar

-Writer -Speaker -Voice Over -MC, Moderator -Young Entrepreneur

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Masih tentang Pandemi, Ini Dia Penyebab Masyarakat Percaya Bahwa Covid-19 adalah Konspirasi

20 Maret 2021   15:02 Diperbarui: 20 Maret 2021   15:06 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Berbicara mengenai konspirasi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, konspirasi mempunyai arti persengkokolan atau komplotan orang dalam merencankan sebuah kejahatan yang dilakukan dengan rapi dan sangat dirahasiakan. Sifatnya yang rahasia menyebabkan ketidakmampuan menjawab atau membuktikan, sehingga inilah yang disebut dengan teori konspirasi. Berdasarkan hasil riset pada tahun 2017 yang ditayangkan di Social and Psychiatric Epidemiology menyatakan bahwa rata-rata orang di Amerika Serikat dengan pendapatan rumah tangga lebih kecil, mereka lebih mempercayai adanya teori konspirasi dibandingkan mereka yang memilki pendapatan lebih besar. Disamping itu, Profesor Chris French, seorang psikolog dari Universitas Goldsmith, London justru mengemukakan pendapat yang berbeda. Ia mengatakan bahwa teori konspirasi dapat dipercaya siapapun, dengan dimensi politik apa saja (kiri, kanan, maupun tengah), juga menembus lapisan kelompok sosial mana saja.

Berkaitan dengan teori konspirasi, saat ini pandemi covid-19 masih menjadi perbincangan di berbagai lapisan masyakarat. Berangkat dari kasus Jerinx, drummer dari band Superman Is Dead yang ramai pada pertengahan tahun 2020 kemarin, pandemi Covid-19 saat ini memang masih menjadi kontroversi di Indonesia, terutama di kalangan masyarakat dengan latar belakang ekonomi menengah kebawah. Ya, mereka menganggap ini semua hanyalah konspirasi. Jerinx sendiri sempat ditangkap karena dianggap menganggu kestabilitasan pelaksanaan edukasi protokol kesehatan di Bali. Sebab ia menyebutkan bahwa virus corona yang menyebar saat ini hanyalah sebuah konspirasi. Padahal, jika memang penyebab ditangkapnya Jerinx ini dikarenakan adanya pihak tertentu yang merasa 'tersinggung', untuk apa? Jika memang begitu kenyataannya, tidak menutup kemungian dimana penjara hanya dipenuhi oleh orang-orang yang bersinggungan. Terkait persoalan Jerinx ditangkap maupun tidak, toh pada kenyataannya sampai saat ini jumlah kasus covid-19 di Indonesia terus bertambah. Menurut Dedy Corbuzier, dalam podcastnya bersama dr. Tirta, Ia menyebutkan bahwa orang seperti Jerinx ini tidak seharusnya ditangkap ataupun dipenjara, melainkan harus dibina karena ia memiliki vocal yang bagus. Dalam kondisi seperti ini, masyarakat memerlukan seorang public figur yang dapat mengangkat suara-suara masyarakat.

Dengan banyaknya kasus yang terus bertambah setiap harinya, juga angka kematian yang sudah mencapai puluhan ribu, namun tetap saja tak sedikit pula masyarakat Indonesia yang tidak percaya akan adanya virus corona ini. Mengingat pandemi ini sangat berdampak pada perekonomian di Indonesia, terlebih para buruh, pedagang kecil, dan pekerjaan lainnya dari kalangan masyarakat menengah kebawah. Rasanya tidak cukup jika masyarakat hanya terus-terusan dijejali edukasi mengenai protokol kesehatan dan diingatkan betapa berbahayanya virus ini. Karena mereka harus bekerja, mereka harus mencari uang untuk menghidupi keluarganya. Dimasa sulit seperti ini tak sedikit dari mereka yang mati-matian mencari pekerjaan agar mendapatkan uang untuk bisa membiyayai sekolah anak-anaknya. Sedangkan, pendidikan pun ikut terdampak. Banyak orang tua yang mengeluh dengan adanya pembelajaran yang dilakukan secara online. Mungkin bagi sebagian orang yang tinggal di kota, atau mereka yang mistar ekonominya menengah keatas, tak ada masalah yang begitu berat dalam menghadapi persoalan ini. Namun lihatlah, betapa bingungnya mereka yang ada di pelosok daerah, beban masyarakat dari menengah kebawah malah terus bertambah. Selain mereka kehilangan pekerjaan, disisi lain mereka kebingungan bagaimana caranya agar anak-anak mereka bisa terus belajar. Bukankah jika semuanya serba online, siswa apalagi mahasiswa harus mempunyai gawai yang dapat digunakan untuk pembelajaran jarak jauh. Belum lagi kendala signal/jaringan internet. Bagaimana tidak? Banyak masyarakat terlebih orang tua yang merasa sedang dibodohi. Mereka mengkhawatirkan masa depan anak-anaknya. Karena pembelajaran dari rumah saja dirasa tidak efektif. Di rumah, para siswa lebih banyak bermain ketimbang belajar. Kalaupun mereka seharian berteman dengan gadget, tidak bisa dipastikan bahwa yang mereka akses adalah materi pembelajaran atau edukasi lainnya. Pada kenyataannya, anak SD bahkan anak TK sekalipun, saat ini mereka sudah melekat dengan gadget yang dimana mereka lebih akrab dengan dunia game dan youtube. Masih mending jika tontonan mereka sehat dan bermanfaat, bagaimana jika tidak? Bukankah hal ini menjadi dilema yang luar biasa bagi para orang tua?

 Sudah kita ketahui bersama pula, untuk mencegah penyebaran mata rantai virus corona ini adalah dengan menerapkan protokol kesehatan. Kita sudah tidak asing lagi dengan gerakan 3M (Memakai masker, Mencuci tangan, dan Menjaga jarak). Namun disamping itu, tubuh juga membutuhkan antibodi yang kuat. Jika imun kita kuat, tubuh pun akan bisa mengalahkan virus tersebut. Nah, kembali lagi bahwa yang menjadi permasalahan besar disini adalah dampak perekonomian yang memburuk dikarenakan pandemi covid-19. Banyak orang di-PHK dan kehilangan mata pencaharian untuk menghidupi keluarganya. Jika kita berpikir dari pandangan masyarakat (terutama masyarakat yang kondisi ekonominya menengah kebawah), bagaimana bisa kita memiliki antibodi yang kuat jika kegiatan perekonomianya lumpuh? Jika ekonomi lumpuh, otomatis pedapatan pun berkurang atau bahkan hilang. Jika tidak ada pendapatan, bagaimana bisa seorang kepala keluarga mencukupi kebutuhan makanan dan menghidupi keluarganya? Yang pada akhirnya, setelah satu tahun pandemi ini bersarang di Indonesia, semakin banyak orang yang percaya bahwa covid-19 hanyalah sebuah konsipirasi. Lama kelamaan mereka mersa jenuh, cape sudah menghadapi situasi dan kondisi genting seperti ini. Harus terus-terusan memakai masker, kemana-mana harus siap cuci tangan, dan membatasi  serta menjaga jarak.

Berbicara mengenai edukasi 3M, bagaimana tidak masyarkat menganggap pandemi virus covid-19 ini sebagai konspirasi, dimana kebijakan dari pusat pun tidak konsisten; terus berubah-ubah. Kita ambil contoh mengenai aturan memakai masker. Sempat beredar informasi yang melarang penggunaan masker scuba dan mengharuskan masyarakat menggunakan masker SNI yang dimana hanya bisa digunakan selama 4 jam. Pemerintah pusat tidak paham akan realita dan kondisi yang terjadi di lapangan (masyarakat menengah kebawah). Apakah bisa dibenarkan, jika orang-orang mengorbankan uangnya sampai tak bisa makan karena harus memakai masker sesuai dengan kebijakan dari 'atas'? Bukankah yang dapat menjual/mendistribusikan masker SNI ini hanyalah orang-orang/pihak-pihak tertentu yang pada akhirnya menyebabakan UMKM tidak bisa bergerak?.

Selain masalah masker, "rapid test" pun manjadi perdebatan. Dimana rapid test ini juga menjadi beban dalam berbagai persyaratan/registrasi. Hasil rapid test seakan menjadi surat sakti. Karena pada kenyataanya, tak sedikit masyarakat (awam) yang menganggap dengan surat rapid test yang menujukan hasil negatif covid-19 ini berarti mereka sudah aman. Juga mengingat surat keterangan ini hanya berlaku selama 14 hari atau dua minggu saja. Anehnya, kebijakan ini hanya ada di Indonesia. Dalam podcast Close The Door bersama Dedy Corbuzier, dr. Tirta menyebutkan bahwa rapid test ini digunakan untuk screening, bukan untuk registrasi. Namun demikian, Di sisi lain kita juga tidak bisa menyalahkan wakil rayat yang duduk di pusat sepenuhnya. Karena Presiden Joko Widodo pun sudah menyatakan bahwa pandemi covid-19 ini tidak bisa diselesaikan oleh pemerintah pusat saja, melainkan juga membutuhkan kerja sama dengan pemerintah daerah. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa Indonesia menerapkan sistem otonomi daerah, sehingga untuk satgas pun pada akhirnya terdapat satgas pusat dan satgas daerah. Tapi, dalam kenyataannya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah belum juga sinkron. Hal ini kembali lagi, jika pejabat daerahnya saja tidak bisa konsisten dalam melakukan edukasi serta kebijakan secara sinkron antara yang disuarakan oleh pemerintah pusat dan daerah, maka ini tidak akan berakhir. Telah banyak ditemukan dimana masyarakat yang melanggar protokol kesehatan dikenakan sanksi sampai diviralkan tanpa peduli alasan dibalik itu semua. Sedangkan ketika ada pejabat daerah yang melanggar, bukan hanya persoalan tidak memakai masker, bahkan kasus yang menciptakan kerumunan (misal acara hajatan yang dilakukan oleh pejabat daerah) pun tidak jelas bagaimana sanksi tersebut dijatuhkan. Dengan realita tersebut, jelas sudah serta menjadi bukti bahwa hukum yang ada di Indonesia ini tumpul keatas dan tajam kebawah.

Orang-orang yang berada dibawah sudah cukup merasakan kesusahan dan keresahan. Dari sinilah masyarakat percaya bahwa covid-19 adalah konspirasi belaka. Mereka yang 'diatas' tidak paham betul bagaimana kondisi lapangan masyarakat yang ada 'dibawah'. Segencar apapun masyarkat dijejali dengan edukasi untuk melaksanakan protokol kesehatan, jika masalah ekonomi dan pendidikan belum jua teratasi, maka tidak akan ada habisnya.

Namun pada akhirnya, kita sebagai manusia harus tetap berusaha dan berdo'a agar semuanya kembali seperti semula. Aamiin.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun