Embun menetes jatuh ke kelopakku. Ku mendongak. Tetesan embun sisa hujan semalam, perlahan mendarat di kelopakku. Brrr, dingin! Kutatap sekelilingku. Sepi. Namun, dari balik pagar besi di seberangku, senyum mengembang ke arahku. Dia mengangguk. Kubalas anggukannya. Keluarlah seorang ibu berkebaya pink dan menuju ke arahku. Dia mengitariku, menatapku lama. Tiba-tiba ... "Bret!"
Dia memelintirku dengan sangat kuat. Gagal. Aku bertahan dan meliuk mencoba berputar arah agar tak dipelintirnya. Napasku tersengal-sengal merasakan sakit yang luar biasa hebatnya. Kucoba bertahan, tapi aku tak mampu menghindari kedua tangannya yang kembali  berupaya memelintirku. Kali ini aku melolong mencari pertolongan kepada yang tadi melempar senyum di balik pagar besi. Tatapannya tajam seakan berupaya menolongku. Tapi apa daya, dia terkurung di antara dahan dan pagar besi rumah majikannya. Tinggallah aku sendiri berjuang menyelamatkan diri dari kedua tangan ibu berkebaya pink.  Dan berhasil dia memelintirku dengan kedua tangannya. Lalu, dia berlalu dengan kuda besi hitamnya. Aku dibawanya entah kemana dan diletakkan di atas pangkuannya serta diabadikan dalam sebuah lensa hitam yang menyorotiku. "Buat sahabatku," gumamnya.
"Tolonglah, aku sakit dan perih wahai ibu berkebaya pink! Tercerabut dari dahan yang selama ini menaungiku. Biasanya, kau pakai pisau tajam untuk memotongku sambil mengagungkan asma-Nya! Aku rela berpindah dari tempatku bernaung karena asma-Nya yang menyejukkan hatiku. Mengapa kali ini kau cabut aku dengan paksa demi kau berikan kepada sahabatmu tanpa merasakan kesakitan dan kepedihan yang menderaku? Selamat jalan aku, kecombrang indah penyedap masakanmu dan para sahabatmu."
