Mohon tunggu...
Niko Hukulima
Niko Hukulima Mohon Tunggu... Human Resources - Karyawan Swasta dan Aktivis Credit Union Pelita Sejahtera

Hidup terlalu singkat untuk disia-siakan. Berusaha untuk lebih baik hari demi hari.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Deken dan Perpustakaan Digital

2 Oktober 2021   10:35 Diperbarui: 3 Oktober 2021   00:01 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Launching Perpustakaan Digital oleh Stasiun Baca di Solor - Flores Timur 

Salah satu istilah yang populer dikalangan anak-anak SDK Watuwawer kala itu adalah deken. Kata ini tidak merujuk pada pengertian imam atau pastor yang mengetuai sebuah dekanat (vicariatus foraneus). Sama sekali tidak. Deken adalah kata kerja, merujuk pada kegiatan memanggil secara paksa seseorang (anak-anak sekolah) yang tidak hadir di sekolah hari itu.

Kegiatan deken ini melibatkan dua pihak. Pertama adalah anak-anak yang ditugaskan untuk mencari sekaligus menjemput (secara paksa) temannya yang absen, sementara pihak kedua adalah anak-anak yang hari itu tidak hadir di sekolah dengan berbagai alasan.

Anak-anak yang mendapatkan tugas ini biasanya amat gembira. Mereka memiliki kesempatan menjadi "penguasa sejenak". Untuk itu mereka berhak memarahi bahkan mengintimidasi atas nama tugas "mulia" dari sekolah/guru. Sebesar apapun badan anak terdeken, tidak memiliki kuasa apapun untuk menghindari, menolak atau bahkan melawan kehendak sang penguasa sejenak. Peran ini sungguh akan dioptimalkan, apalagi jika ada dendam sebelumnya.

Anak-anak terdeken harus manut. Jika tidak, dia akan di tarik dengan keras. Jika tetap tidak mau maka jalan terakhir adalah di tandu beramai-ramai oleh teman-temannya secara paksa. Dua tiga anak akan menggabungkan tangan membentuk tempat duduk. Sang ter-deken dipaksa naik ke atas dan duduk bertumpu pada tangan teman-temannya dan dibawah pergi ke sekolah.

Bagi anak-anak ter-deken, harus siap menerima konsekuensi mengalami tiga intimidasi. Pertama dari teman-temannya para petugas deken. Di bawah "kekuasaan sejenak" teman-temannya, dia tidak memiliki hak kecuali manut.

Kedua dari guru kelas yang siap di depan pintu dengan berbagai pertanyaan menyelidik. Tidak saja itu. Cambuk selalu ada ditangan, siap diayunkan. Dan ketiga adalah teman-teman sekelas. Tatapan mengejek, bahkan menghina harus diterima sebagai konsekuensi orang bersalah. Lebih dari itu, hal terberat lain adalah ketika diinterogasi di depan kelas dengan bahasa Indonesia.

Ini adalah beban tak terkira jika tidak mempu berbahasa Indonesia dengan baik. Di jawab, takut salah kemudian diejek satu kelas atau kena sangsi. Tidak dijawab malah lebih lagi.

Cara demikian, membuat anak-anak selalu hadir di sekolah, walau terpaksa. Kesadaran bersekolah jaman itu hanya milik para guru dan anak-anaknya. Anak-anak petani cenderung berpikir untuk menjadi petani (tetap ada pengecualian) seperti orangtuanya. Adagium 'banyak anak banyak rejeki' menguatkan persepsi ini. Tidak heran jika banyak orang tua mengarahkan anaknya untuk kerja di kebun dibanding pergi sekolah.

Kelak, ketika pemerintah mengeluarkan aturan Wajib Belajar 9 tahun, yang merupakan program Pemerintah untuk menjawab kebutuhan dan tantangan jaman, berdasarkan Undang-undang Pendidikan Nasional No. 2/1989, rasa-rasanya SDK Watuwawer sudah melakukan dengan caranya sendiri. Mendatangi setiap rumah yang memiliki anak-anak, mengajak mereka ke sekolah walau terkadang dengan cara yang keras, ada yang usianya sudah tinggi, berkumis dan berjenggot pula. Mereka semua wajib pergi ke sekolah. Inilah wujud nyata wajib belajar tersebut.

Kini para guru tidak perlu lagi menggunakan metode deken. Orang tua masa kini memiliki kesadaran tinggi akan hal ini sejak awal, betapa pentingnya anak-anak pergi sekolah, menuntut ilmu untuk mempersiapkan hidup mereka agar lebih baik dari orang tuanya.

Adagium di atas; banyak anak-banyak rejeki yang dulu diyakini sebagai cara agar keluar dari kemiskinan, justru tidak lagi relevan. Memiliki anak berarti menghitung tanggungjawab, sejak dalam kandungan hingga masuk ke bangku sekolah. Apalagi perekonomian keluarga jauh lebih baik dibanding masa lalu melalui sumber-sumber ekonomi yang dioptimalkan. Orang tua lebih leluasa merancang masa depan pendidikan anak mereka melalui perencanaan keuangan yang lebih baik.

Kenyataan menggembirakan ini, tidak lantas membuat kita berpangku tangan. Tantangan lain mengintip pada era modern ini tidak kalah mengkhawatirkan sembari menuntut kita semua mesti tetap waspada.

Mengacu pada hasil survei yang dilakukan Program for International Student Assessment (PISA) yang dirilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), tingkat literasi masyarakat Indonesia tergolong sangat rendah. Minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen. Artinya dari 1.000 orang Indonesia hanya 1 orang yang gemar membaca. Dan anak-anak Lembata, khususnya Watuwawer menjadi bagian dalam hasil survey tersebut.

Apa peran kita menghadapi kenyataan ini? Mari bergerak, mengambil bagian mengurangi rasa khawatir ini. Para Alumni SDK Watuwawer mengambil langkah, ikut berkontribusi melalui upaya mendorong anak-anak kampung agar Gemar Membaca, dengan cara menghadirkan Perpustakaan Digital sebentar lagi. Mengapa Perpustakaan Digital?

Perpustakaan digital merupakan perpustakaan yang mempunyai koleksi buku dalam format digital dan dapat diakses melalui perangkat komputer. Dengan demikian, perpustakaan digital menjadi salah satu sumber informasi atau pengetahuan yang dapat diakses secara virtual melalui perangkat elektronik seperti komputer, tablet, dan smartphone.

Anak-anak tidak perlu keluar rumah. Mereka bisa mendapatkan informasi ataupun pengetahuan secara mudah melalui ribuan judul buku yang berada dalam sebuah perangkat kecil dan siap diakses kapan saja, hemat waktu dan lebih efektif.

Koleksi yang disimpan dalam bentuk digital dapat dirawat jauh lebih lama dibanding sistem penyimpanan non digital yang dipengaruhi oleh banyak faktor yang berdampak pada biaya yang tidak sedikit. Melalui Perpustakaan Digital, semua koleksi telah dikonversikan dalam bentuk digital yang dapat diakses dengan mudah.

Perpustakaan digital tidak lagi berbicara tentang tas besar yang penuh berisi buku, rak-rak buku besar dengan tumpukan buku, atau kemana-mana menenteng buku. Juga tidak lagi berbicara tentang buku mahal dan berbagai alasan lain yang menyebabkan anak-anak tidak lagi gemar membaca buku. Tinggal masuk ke ruangan, buka tablet atau komputer, cari buku yang hendak dibaca, klik judulnya dan selamat membaca. Anak-anak yang tumbuh besar di era digital, di kota maupun di desa, lebih tertarik dengan cara seperti ini.

Kata bijak "membaca adalah jendela dunia" mengajak anak-anak kita ke tidak hanya satu perspektif saja, tetapi ke berbagai macam perspektif. Setiap membaca buku dari penulis satu dengan penulis lain, anak-anak kita akan belajar sisi-sisi menarik. Secara otomatis pikiran akan menjelajahi perspektif penulis satu dan penulis lain. Meskipun tidak semua perspektif diamini. Paling tidak anak-anak kita belajar melakukan proses eliminasi informasi yang dibutuhkan.

Melalui perpustakaan digital, Setidaknya kita sadar bahwa membaca yang adalah jendela dunia, tidak perlu membuat kita dan anak-anak menguras kantong dalam-dalam hanya untuk mencicip pengalaman. Mereka dapat mengalaminya cukup melalui membaca.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun