Mohon tunggu...
Nurhikmah
Nurhikmah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa dan Blogger

Si bungsu yang suka berbagi cerita dan opini

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Tuberkulosis dan Penderitanya di Masa Pandemi Covid-19

29 Desember 2021   21:45 Diperbarui: 29 Desember 2021   21:47 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Desember 2019 lalu, dunia geger karena ditemukannya pandemi baru, yaitu Covid-19 di Wuhan, Tiongkok. Covid-19 disebabkan oleh sekolompok virus yang dinamakan coronavirus. Virus ini bisa menyerang semua kalangan dan usia, dengan tanda umumnya; batuk kering, demam, dan rasa lelah. Virus corona dapat menyebabkan infeksi pada saluran pernapasan manusia mulai dari batuk dan pilek hingga masalah yang lebih serius. Pandemi ini sudah menular dan menyerang berbagai negara di belahan dunia, tak terkecuali Indonesia.

Di Indonesia sendiri, pandemi Covid-19 sudah terhitung hampir 2 tahun semenjak diumumkannya pada bulan Maret 2020 oleh Presiden Joko Widodo. Jika bicara beberapa bulan belakangan, semua orang dipaksa untuk cepat beradaptasi dengan virus ini. Kegiatan yang awalnya bebas, semua menjadi terbatas semenjak adanya virus tersebut. Ajakan menjaga jarak, memakai masker, dan mencuci tangan digaungkan di mana-mana. Meski kini pandemi tersebut sudah bisa teratasi dan tidak semengerikan dulu, tapi protokol kesehatan tetap harus dipatuhi, mengingat cepatnya penularan virus ini.

Tuberkulosis di Indonesia

Perlu diketahui, sebelum adanya Covid-19, di Indonesia sendiri sudah terdapat penyakit cukup serius yang memiliki gejala dan infeksi hampir sama dengan Covid-19, yaitu TB (tuberculosis). Tuberkulosis atau biasa juga disebut TBC dan flek paru oleh sebagian orang, adalah infeksi yang disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis bacteria (MTB). Meski umumnya bakteri tuberkulosis menyerang paru, nyatanya bakteri ini juga dapat menyerang tulang, usus, dan kelenjar. Gejala yang dirasakan oleh penderita tuberkulosis yaitu batuk yang berkepanjangan lebih dari 3 minggu, demam, nyeri bagian dada, lemas, dan tidak nafsu makan. Maka dari itu, tidak heran jika seseorang yang menderita tuberkulosis mengalami penurunan berat badan.

Berdasarkan data WHO (World Health Organization), setiap tahun 10 juta orang jatuh sakit yang disebabkan oleh tuberkulosis, dan 1.5 juta orang diantaranya meninggal karena penyakit tersebut. Sedangkan pada tahun 2020, diperkirakan 9.9 juta orang di dunia jatuh sakit karena bakteri tuberkulosis. Tuberkulosis masih menjadi penyakit menular penyebab kematian nomor 1 di dunia. Negara kita, Indonesia masuk 4 teratas setelah India dengan jumlah terbanyak kasus tuberkulosis di dunia.

Lalu pertanyaannya, apakah penderita tuberkulosis dapat sembuh? Tentu saja jawabannya adalah bisa. Bakteri ini dapat disembuhkan dengan pengobatan secara teratur. Bahkan, berobat tuberkulosis bisa dilakukan sampai sembuh secara gratis dengan datang langsung ke puskesmas terdekat. Umumnya, pengobatan tuberkulosis memakan waktu 6 bulan. Namun, jika penderita resistensi (kebal) terhadap obat, maka pengobatan bisa memakan waktu yang lebih lama lagi. Penyebab resisten bagi penderita adalah tidak mematuhi anjuran penggunaan obat, diantaranya berlebihan meminum obat ataupun tidak menuntaskannya.

Di Indonesia, penderita tuberkulosis sering kali mendapat pengucilan dari masyarakat sekitar. Jangan berpelukan dengan penderita atau harus memisahkan peralatan makan adalah stigma negatif yang beredar di masyarakat terhadap penderita tuberkulosis. Harus dipahami oleh masyarakat, bahwa bakteri tuberkulosis hanya menyebar melalui udara ketika penderita batuk atau bersin, tidak menular melalui kulit, peralatan makan, ataupun pakaian. Pengucilan dan stigma negatif inilah salah satu alasan yang membuat penderita enggan untuk melanjutkan pengobatannya sehingga mengalami resistensi antibiotik. Malu karena dikucilkan dari lingkungan masyarakat, kantor, bahkan mendapat perlakuan asing dari keluarga sendiri. Padahal, pengobatan yang rutin dan disiplin adalah kunci utama bagi penderita yang ingin sembuh total dari tuberkulosis. Maka dari itu, stigma negatif ini harus dihilangkan agar Indonesia mengalami penurunan jumlah kasus tuberkulosis dan menjadi negara bebas tuberkulosis.

Penanganan Tuberkulosis saat Pandemi Covid-19

Tuberkulosis dan covid-19 memang penyakit yang sama-sama menyerang sistem pernapasan manusia, tetapi terdapat perbedaan diantara keduanya. Penderita tuberkulosis akan mengalami batuk berdahak terus-menerus, sedangkan covid-19 cenderung batuk kering. Terlebih lagi terdapat pula penderita covid-19 yang menjadi OTG (orang tanpa gejala). Beredarnya berita kematian dan penularan yang berbahaya akibat covid-19, membuat penderita tuberkulosis takut memeriksakan kondisinya ke layanan kesehatan. Bahkan, ada beberapa pihak rumah sakit yang diberitakan takut memeriksa pasien tuberkulosis karena dikhawatirkan terjangkit covid-19.

Tuberkulosis memang menjadi masalah serius sedari dulu di negara kita, tapi covid-19 saat ini telah menjadi prioritas dan mengambil banyak perhatian, tidak hanya tenaga kesehatan, tapi juga pemerintah dan masyarakat. Berdasarkan penerangan Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2PML) dr. Wiendra Waworuntu, bahwa pelayanan pada penderita tuberkulosis tidak bisa dihentikan, dan harus dipastikan bahwa pasien mendapatkan obat sesuai ketentuan.

Dalam berkas yang diunggah oleh Kementrian Kesehatan pada websitenya, tentang pelayanan tuberkulosis selama pandemi covid-19, tertulis bahwa semua pasien tuberkulosis harus tetap di rumah dan menjaga social distancing. Pelayanan tuberkulosis dengan rawat jalan ditetapkan menjadi pilihan utama dalam pelaksanaannya selama masa darurat covid-19, dibandingkan dengan perawatan langsung di rumah sakit (rawat inap), kecuali jika memang pasien mengalami permasalahan serius yang membutuhkan perawatan intensif dari rumah sakit. Penerapan ini dilakukan demi mengurangi potensi penularan covid-19. Tertulis pula bahwa Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota harus mempertimbangkan upaya pemisahan lokasi pelayanan antara tuberkulosis dengan covid-19. Hal ini dilakukan guna mencegah penularan virus corona terhadap penderita tuberkulosis, karena penderita yang belum sembuh total memiliki daya tahan tubuh yang masih lemah dan dikhawatirkan menambah parah keadaan penderita.

Pada awal tahun 2021, Indonesia mulai melakukan program vaksinasi covid-19. Terdapat beberapa vaksin yang mendapatkan izin penggunaannya di Indonesia dan bisa diakses masyarakat, diantaranya adalah Sinovac, Astrazeneca, Pfizer-BioNTech, Moderna, Sinopharm, Johnson & Johnson, CanSino, dan Sputnik V. Fungsi dari vaksin adalah untuk melindungi diri sendiri dan orang lain. Selain itu, vaksin juga dapat menghentikan penyebaran covid-19 di negara kita. Bagi penderita tuberkulosis, vaksin layak didapat jika penderita sudah menjalani pengobatan minimal 2 minggu dengan membawa surat keterangan dari dokter yang memeriksa. Namun, di Indonesia masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui hal tersebut dan menganggap vaksin berbahaya. Seiring edukasi dan ketentuan yang diterapkan pemerintah, membuat masyarakat semkin yakin untuk vaksin dan kini angka covid-19 di Indonesia mengalami penurunan.

Tidak bisa dipungkiri, pandemi covid-19 mampu mengubah kebiasaan masyarakat Indonesia menjadi lebih sadar akan pentingnya menjaga kebersihan dan kesehatan. Bagi penderita tuberkulosis, tentu sudah mendapat edukasi mengenai etika batuk yang benar, tapi masyarakat awam banyak yang tidak tahu dan menganggap remeh. Adanya covid-19 dan edukasinya sangat membantu masyarakat lebih aware akan hal tersebut. Sebelum adanya covid-19, orang yang memakai makser dianggap aneh, penyakitan, dan menjadi pusat perhatian. Padahal, masker tidak hanya diperuntukan untuk orang yang sakit, tapi juga bisa melindungi kita dari bakteri dan virus. Kini, masker menjadi hal yang wajib bahkan trend fashion untuk sebagian orang. Masker untuk melindungi diri sendiri dan juga orang lain sangat penting diperhatikan.

Tuberkulosis memang ada di seluruh dunia, tapi dominan negara yang terdampak dengan kasus terbanyak adalah negara berkembang dengan penghasilan rendah dan menengah. Mengakhiri tuberkulosis adalah salah satu target yang ingin dicapai SDG's (Sustainable Development Goals) pada tahun 2030 dengan tujuan untuk kehidupan yang lebih sehat dan sejahtera. Menjamin kesehatan suatu negara tentu akan meningkatkan kesejahteraan penduduknya. Maka dari itu, sangat penting untuk kita semua berperan dalam penurunan angka tuberkulosis, agar tujuan SDG's di Indonesia bisa tercapai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun