Di pagi yang sangat terik.
Tajuk merajuk menolak kata, mengawali hari menelusuri kota.
Terkenang tiada tara, simpuh hadapnya meronta meminta belas kasih.
Iba. Kelemahan yang memicu gundah.
Senyum ikhlas dariku melengkung jua tertutupi kain yang menutup separuh wajahku, yang seolah mencegahku.
Pandainya api dalam kobarnya menyelinap ke sela-sela hati dan pikiran manusia.
Awalnya ingin berkata-kata. Namun tertahan oleh kuatnya iman yang tak mungkin menjerumuskan. Dipadukan oleh luasnya pikiran yang mengusung akal sehat bercampur ego.
Karena ku memang harus tega.
Tak apa beri ia tega, karena frekuensinya tak lagi sama.
Tak apa tak usah iba, karena ia tak lagi kusebut Kita.
Yogyakarta, Desember 2018