Mohon tunggu...
Ngudi Tjahjono
Ngudi Tjahjono Mohon Tunggu... Dosen -

Saya adalah staf pengajar di Program Studi Teknik Industri, Universitas Widyagama Malang. Untuk menyimak tulisan saya yang lain, silakan membuka: https://teraspotensia.blogspot.co.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mereguk Kebahagiaan dengan Membangkitkan Rasa Syukur

1 Agustus 2016   21:02 Diperbarui: 4 Agustus 2016   16:08 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://www.kabarmakkah.com/2015/10/bahagia-itu-sederhana-baca-9-tips-ini.html

Membangkitkan (membangunkan) orang yang terjatuh dari motor itu mudah, karena orangnya jelas, kita mengetahui posisi jatuhnya, tingkat keparahannya, kesadarannya, dan semangatnya untuk bangkit. Demikian juga membangkitkan orang dari tidurnya, membangkitkan (menegakkan) pohon hias yang tumbang di pinggir jalan, dan lain-lain.

Tetapi, contoh di atas adalah membangkitkan mereka secara fisik. Bagaimana jika yang perlu dibangkitkan itu berkenaan dengan kondisi psikologis (kejiwaan)? Tentu dalam hal ini tidaklah semudah dalam kasus fisik.

Seorang petinju yang terjatuh karena pukulan jab lawannya, mungkin secara fisik tidak memungkinkan tubuhnya untuk segera bangun. Tetapi karena semangatnya untuk menang dan tidak ingin dipermalukan di depan orang banyak, membuatnya berusaha keras untuk bangkit dan bertarung lagi. Ia memiliki motivasi yang kuat untuk bangkit dan menanamkan pada dirinya, bahwa dia adalah juara.

Berbeda dengan seorang anak kecil yang jatuh karena terpeleset, tubuhnya juga tidak terluka sedikit pun. Sebenarnya ia bisa bangkit dan berlari lagi dengan riang. Tetapi karena rasa manjanya, ia mendramatisasi peristiwa kejatuhannya dengan tangisan dan rintihan yang menghiba agar segera ditolong dan disayang ibunya. Biasanya kita menyebutnya sebagai sikap cengeng. Bahkan contoh terakhir ini tidak hanya terjadi pada dunia anak-anak, melainkan banyak juga kita temui di kalangan orang-orang dewasa.

Pada kasus pertama, mampu membuat orang memotivasi dirinya untuk bangkit dan berusaha untuk lebih baik lagi. Sedangkan pada kasus kedua, membuat orang meratapi penderitaanya dan pesimis untuk bisa menjadi lebih baik.

Kasus yang lain, dua orang pemuda dari keluarga yang berbeda dengan latar belakang ekonomi yang kaya. Mereka bersahabat sejak kecil. Suatu saat mereka berada dalam perjalanan (touring) ke suatu tempat yang belum pernah mereka kunjungi. Mereka mengetahui rute dan lingkungan perjalanan hanya dari tulisan dan peta satelit. Dalam perjalanan yang sulit dan melelahkan, tiba-tiba mobilnya mogok. Tidak satu pun dari mereka yang mengetahui apa sebabnya.

Setelah berjam-jam menunggu dalam ketidakpastian, ternyata tidak ada seorang pun yang lewat di jalur itu, padahal mereka sangat mengharapkan pertolongannya. Padahal matahari sudah mulai bergerak ke arah persembunyiannya.

Salah satu dari mereka (sebut saja si Fulan) mulai kesal yang mengumpat keadaan. Sedangkan temannya (sebut saja Bejo) sibuk berpikir mencari sebab mogoknya dan berupaya berbuat sesuatu terhadap mesinnya, barangkali ada yang bisa diperbaiki. Juga terbersit ide untuk terus berjalan kaki ke arah tujuan sambil mencari peluang barangkali ada kampung terdekat di mana mereka bisa menemui seseorang untuk dimintai tolong. Bejo menawarkan ide optimisnya ini, tetapi Fulan malah memarahinya. Dengan nada pesimis, ia bahkan menyalahkan Bejo dengan berbagai sebutan yang tidak menyenangkan, mulai dari kata “tidak becus”, “kamu gila”, “tidak realistis” dan sebagainya.

Pada kasus di atas dapat kita temui, bahwa peristiwa yang dihadapi dua orang itu adalah sama, namun cara mereka menyikapinya tidak sama. Si Fulan menyesali keadaan, sedangkan si Bejo mencari celah untuk keluar dari musibah itu. Bagi si Fulan keadaan ke depan adalah gelap gulita, sedangkan bagi si Bejo ada titik terang di depannya yang memungkinkan mereka bisa keluar dari keadaan yang sedang dihadapinya. Fulan merasakan penderitaan, sedangkan Bejo merasakan ada harapan peluang menemukan jalan keluar.

Kendati mobil yang mereka gunakan tidak lagi bisa memberikan harapan untuk mengantar mereka ke arah tujuan, namun si Bejo masih merasa mempunyai bekal tenaga tubuhnya yang masih sehat. Apa lagi bekal makanan, minuman dan beberapa peralatan lainnya masih ada dan cukup. Ini adalah bekal penting untuk melanjutkan perjalanan. Tetapi bagi si Fulan, semua bekal itu seolah tidak berarti karena tertutup oleh segala penyesalan, pesimisme dan mengutuk keadaan.

Sekali lagi, dalam menyikapi keadaan, keduanya mempunyai cara yang berbeda. Padahal bekal mereka yang masih tersisa adalah sama. Si Bejo tetap bersyukur, bahwa bekalnya masih cukup untuk berhasil mencapai tujuan. Ia juga mengetahui bagaimana cara memanfaatkan bekal dan menggunakan peralatan itu. Inilah yang disebut bersyukur itu, sehingga pikirannya jernih dan mampu membuatnya bangkit untuk bergerak terus. Sedangkan si Fulan terpuruk dalam penderitaan karena ia tidak menyukuri bekal yang masih ada. Si Bejo tetap bersemangat, wajahnya cerah dan bahkan banyak memiliki ide-ide alternatif, sedangkan si Fulan lemas, tak bersemangat, wajahnya kusam dan menunjukkan penderitaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun