Mohon tunggu...
Ngalor Ngidoel
Ngalor Ngidoel Mohon Tunggu... Freelancer - Travellers

Travelling Everywhere Anytime till you drop www.ngalorngidoel.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Labirin dan Desakralisasi Makam Bung Karno

21 Juni 2019   18:29 Diperbarui: 21 Juni 2019   18:42 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari ini tepat 49 tahun lalu Bung Karno wafat dan dimakamkan di Blitar berdampingan dengan makam kedua orangtuanya. Saya sendiri sudah berkunjung sekitar tiga kali ke makam beliau. Pertama sewaktu kuliah dulu, kedua sekitar tahun 2010, dan ketiga dua bulan lalu. Ada beberapa perbedaan ketika saya pertama kali berkunjung dengan kondisi terakhir.

Saat pertama kali berkunjung, saya naik becak dari stasiun Blitar ke makam Bung Karno. Saat itu jalan di depan kompleks makam masih bisa dilalui kendaraan roda empat dan tidak terlalu ramai, mungkin karena bukan hari libur. Suasananya masih terasa sakral, ada beberapa orang ziarah sambil berdoa di depan makam beliau. Kondisi makam masih rindang walau sudah diberi tempat tersendiri. Masuk dan keluar masih bisa melalui pintu yang sama.

Saya lupa-lupa ingat karena sudah terlalu lama peristiwanya, tapi tampaknya belum terlalu banyak toko-toko souvenir di depan makam, hanya pedagang bunga melati dan air untuk disiram ke makam saja yang tampak

Musium dan Perpustakaan (Dokpri)
Musium dan Perpustakaan (Dokpri)
Pada kunjungan kedua, kendaraan juga masih bisa lewat dan parkir tak jauh dari makam. Kondisi sekitar makam sudah mulai agak ramai oleh pedagang souvenir, namun suasananya masih tetap sakral.

Seperti biasa banyak orang berziarah dan berdoa di depan makam beliau. Pepohonan masih rindang dan kondisinya masih seperti apa adanya, belum tampak penataan seperti sekarang ini. Hanya ada bangunan baru untuk perpustakaan dan musium. Toko-toko souvenir sudah mulai tumbuh berkembang dan ikut menjual bunga melati untuk ditaburkan di makam beliau.

Jalan Umum Menjadi Pedestrian (Dokpri)
Jalan Umum Menjadi Pedestrian (Dokpri)
Dua bulan lalu saat berkunjung terakhir kalinya, saya agak kaget karena jalan sudah ditutup untuk kendaraan roda empat dan berganti menjadi pedestrian.

Sementara untuk parkir tersedia lahan yang ada di selatan, agak jauh dari makam sehingga harus naik becak untuk menuju ke sana. Akhirnya saya menuju ke arah utara lewat jalan lain agar bisa parkir tak jauh dari makam.

Tempat Parkir di Ujung Jalan (Dokpri)
Tempat Parkir di Ujung Jalan (Dokpri)
Untunglah hari itu bukan hari libur jadi saya bisa parkir di bibir jalan lama yang disisakan buat parkir, walau sudah berbentuk paving blok, tidak lagi aspal seperti jalan pada umumnya.

Walau masih agak jauh tapi tak perlu naik becak karena memang jalannya didesain untuk pejalan kaki. Hanya suasana rindang layaknya makam sudah tak terlibat lagi, berganti menjadi suasana tempat wisata yang berbau komersial. Pedagang melati dan air masih ada tapi tidak sebanyak dulu, mungkin karena bukan hari libur.

Konter Penjualan Tiket Masuk (Dokpri)
Konter Penjualan Tiket Masuk (Dokpri)
Masuknya sekarang bayar di loket sebesar 3000 Rupiah dan kita masuk dari arah selatan menuju makam beliau. Di bagian belakang tampak museum dan perpustakaan yang berdiri sebagai pelengkap makam, namun saya tak sempat berkunjung karena waktu sudah sore menjelang tempat tersebut tutup. Sayapun masuk ke dalam makam dan berdoa di depan makam beliau yang diapit makam ayahanda dan ibundanya.

Selain saya ada beberapa peziarah yang ikut berdoa di depan makam. Rata-rata berasal dari luar Blitar, ada yang dari Malang, Banyuwangi, bahkan dari Jawa Tengah dan Jawa Barat serta luar pulau Jawa. Mereka rata-rata memang pengagum berat Bung Karno hingga rela jauh-jauh datang ke makam beliau hanya untuk berdoa.

Usianya juga beragam dari muda hingga veteran perang 45 yang masih hidup. Peziarah tua tampak khidmat berdoa dan menangis haru di depan makam beliau, sementara yang muda justru asyik berselfie ria di depan makam.

Makam Bung Karno (tengah) dan peziarah (Dokpri)
Makam Bung Karno (tengah) dan peziarah (Dokpri)
Tak tampak lagi rasa takut apalagi seram saat mengunjungi makam beliau terutama buat yang muda. Makam sudah tidak lagi menjadi benda yang sakral, yang harus ditakuti atau ada tulah dan sejenisnya kalau melanggar etika atau adab.

Para pengunjung tampak lebih bebas berekspresi di depan makam tanpa takut kualat atau kena sambar jin. Ada yang tertawa riang, berfoto-foto dengan pose bebas tanpa takut diintip hantu atau jin yang ikut numpang foto.

Saya lebih kaget lagi ketika selesai berdoa dan mendokumentasikan suasana sekitar makam. Ternyata jalan keluarnya lebih panjang dan berliku yang tak ada ujung pangkalnya.

Kita harus melalui lorong mirip labirin yang terdapat toko-toko souvenir di sisi kiri kanannya. Puluhan toko berjajar menjajakan barang dagangan yang hampir sama dan kita dipaksa untuk melewatinya tanpa ada jalan pintas sehingga harus berputar mengikuti alur untuk menuju jalan keluar.

Pasar Labirin (Dokpri)
Pasar Labirin (Dokpri)
Di satu sisi mungkin niatnya baik agar semua pedagang mendapat kesempatan yang sama untuk dilalui pengunjung. Namun bagi pengunjung tentu ini melelahkan karena harus memutari pasar sebelum keluar, padahal belum tentu membeli barang tersebut. Lagipula barang yang ditawarkan juga tak jauh berbeda antara satu toko dengan toko lainnya sehingga sekilas tampak mubazir kalau harus berkeliling yang memakan waktu lebih dari sepuluh menit sebelum ketemu pintu keluarnya.

Lorongnya tampak pengap karena tertutup rapat dan nyaris tanpa ventilasi udara, hanya ada sedikit jarak antara atap toko dengan atap jalan yang terbuka.

Jalannya juga agak sempit sehingga bila suasana ramai tentu sulit untuk berpapasan dan semakin pengap di dalam. Untung waktu itu cuaca agak mendung sehingga tidak terlalu terasa panas di dalam ruangan. Setelah keluar baru terasa udara segar, dan sayapun menyusuri jalan pedestrian tersebut dan menemukan gong perdamaian dekat pintu masuk utama.

Gong Perdamaian (Dokpri)
Gong Perdamaian (Dokpri)
Tidak semua pengunjung ingin membeli souvenir karena niatnya memang hanya untuk ziarah sekaligus berdoa di depan makam beliau. Jadi jalan keluar yang seperti labirin tersebut sebaiknya ditinjau kembali keberadaannya. Memang niatnya mungkin untuk membagi rata kesejahteraan pedagang, namun kalau tidak ada yang beli jadi percuma juga.

Tetap saja yang beruntung adalah yang berada di awal pintu keluar makam karena pertama kali dikunjungi peziarah, sementara yang di belakang tinggal menunggu godot dan berharap ada yang belum dibeli pengunjung di toko depan.

Makam Bung Karno (Dokpri)
Makam Bung Karno (Dokpri)
Makam Bung Karno sudah kehilangan kesakralannya, berganti menjadi kawasan komersial dengan menjadi obyek wisata budaya dan ikon kota Blitar.

Karena statusnya itulah banyak orang mencoba mencari peruntungan dengan menjadi pedagang, penarik becak, atau pemandu ziarah yang harus diakomodasi oleh pemerintah, salah satunya dengan membentuk pasar labirin seperti cerita di atas.

Memang harus ada jalan tengah agar para pedagang bisa dilalui pengunjung, namun pengunjung juga tetap nyaman tanpa harus berputar-putar mengitari pasar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun