Mohon tunggu...
Nurul Furqon
Nurul Furqon Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Arab UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Nama saya Nurul Furqon, saya berasal dari kabupaten Sumedang, riwayat pendidikan saya SDN Babakandesa, SMPN 1 Cibugel, SMAN Situraja. Dan sekarang saya menjadi Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Arab UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Islamic Feminism dan Perjuangan Tanpa Kelas

13 Maret 2021   13:22 Diperbarui: 13 Maret 2021   13:41 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Islamic Feminisme dan Perjuangan Tanpa kelas

Permasalahan kesetaraan gender sudah menjadi polemik besar dari tahun ke tahun, bahkan semenjak manusia pertama diciptakan, jika kita melihatnya dari persfektif agama abrahamik posisi perempuan diantara laki-laki sangatlah ironis, itu tercermin dari kebosanan Adam ketika masih di syurga, maka Tuhan menciptakan perempuan untuk menemani Adam, dan ketika manusia diturunkan ke dunia, kita bisa melihat dari kisah Qabil dan Habil yang seolah menjadikan perempuan sebagai objek dari laki-laki, bagaimana tidak, yang memainkan peran disana adalah seorang laki-laki yang memperebutkan perempuan. 

Atau mungkin kita bisa jalan-jalan ke Yunani, sebuah tempat yang menjadi peradaban awal dari ilmu pengetahuan, banyak sekali orang pintar yang lahir dan tumbuh besar disana dan sampai sekarang mereka menjadi panutan, sebut saja Socrates, Plato, dan Aristoteles, namun menyedihkannya pandangan mereka tentang perempuan adalah "perempuan adalah laki-laki yang tidak sempurna," perempuan diciptakan tidak lebih hanya untuk menemani laki-laki, dan bahkan perempuan drajatnya tidak lebih tinggi dari seorang anak laki-laki yang belum dewasa. Ironis bukan? Apakah perempuan hanya sebtas itu?

Feminisme itulah nama gerakan yang memperjuangkan adanya kesetaraan gender dengan berlandaskan Etic of Care, namun perlu kita ketahui bahwa Etic of Care ini terlahir dari janin Etic of Right, sedangkan kita tahu sendiri bahwa Etic of Right adalah landasan dari Patriarkisme, apakah mungkin geraksn Feminis ini bisa menghasilkan sebuah kesetaraan gender, sedangkan produk awalnya saja sudah Patriarki? Mungkin bisa dan mungkin juga tidak, karena semua hal di dunia pada kenyataannya penuh dengan hegemoni dari kaum patriarki. 

Kita ambil contoh yang sederhana, para pembaca tulisan ini, secara tidak langsung sedang dipaksa untuk mengerti isi dari tulisan ini, sedangkan kasus tersebut adalah bentuk dari arogansi penulis, dan arogansi adalah sifat dasar dari Patriarki , jadi bisa disimpulkan penulis disini sedang menggunakan konsep Patriarki.

Diagram Etic of Care

dokpri
dokpri

Dari diagram diatas kita bisa melihat bahwa Etic of Care memposisikan diri sebagai yang mono dan sekuler, maka disini sebanarnya gerakan feminis adalah gerakan tanpa agama. Lantas jika demikian bagaimana dengan gerakan perjuangan tanpa kelas yang dibawa oleh agama, mengingat di negara Indonesia adalah negara yang sangat kental dengan ajaran Teologisnya. 

Karena masyarakat kita mayoritas beragama Islam, maka tentu umat Islam memiliki gerakannya, yang mereka sebut Islamic Feminisme. Islamic Feminisme ini membawa Etic of Care ke ranah Teologis, sehingga menyebabkan perpaduan antara Feminis yang sekuler dengan Islam yang Teologis. Jadi mari kita lihat secara seksama apakah Islam yang pada dasarnya sangat Fundamentalis bisa memberikan jawaban atas pertjuangan tanpa kelas?

Yang sering menjadi perdebatan dalam Islam seperti apakah peran perempuan, mengingat banyak ajaran Islam yang sangat Patriarki, mari kita lihat saja, Surat an-Nisa' ayat 3,  ketika kita melihat realitas sosial ayat tersebut sering digunakan laki-laki untuk berpoligami seolah perempuan hanya menjadi objek dari syahwat laki-laki,. 

Apakah itu yang disebut dengan Islam sangat membela perempuan?  Apakah benar ajaran agama yang dalam pebukaan kitab sucinya saja tercantum kata "Maha Pengasih Maha Penyangang" dan dibawa Nabi yang sangat baik dan penuh cinta namun menjadikan perempuan seperti demikian, ketika kita melihat kasus tersebut menariknya hal tersebut telah dikritisi oleh seorang aktivis Feminis dari Islam, yaitu Fatima Marnissi yang mengahasilkan kesimpulan bahwa bukanlah agamanya yang salah tetapi kurangnya pemahaman dari kita selaku pembaca ayat tersebut. 

Dalam kasus ayat an-Nisa' ayat 3, Islam sedang ada pada zaman perang sehingga banyak sekali janda dan anak yatim yang memerlukan uluran kasih sayang. Ayat tersebut merupakan bentuk dari kasih sayang Tuhan kepada anak yatim dan janda yang kehilangan suaminya ketika berperang, maka laki-laki yang sekiranya mampu nikahilah perempuan tersebut agar bisa memenuhi kehidupan perempuan tersebut. Namun pada kenyataannya kebanyakan pemuka agama adalah seorang laki-laki sehingga pastilah penjelasan agamapun besifat kelaki-lakian atau dengan kata lain penjelasan agama itu berasal dari persfektif laki-laki.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun