"Wisuda terbaik adalah ketika anak-anak siap menapaki jalan berikutnya dengan mandiri, tanpa harus dibebani seremoni yang tak sepadan" - Maria Montessori
Perpisahan dan wisuda sekolah sudah lama menjadi bagian dari tradisi pendidikan di Indonesia. Layaknya seremoni sakral, prosesi ini dirancang megah: sewa gedung, toga, panggung dekoratif, hingga undangan mewah. Namun, di tengah kenaikan biaya hidup dan ketimpangan ekonomi keluarga, muncul pertanyaan: Apakah acara semacam ini masih relevan dan penting, atau justru menjadi beban?
Makna di Balik Seremoni
Tak bisa dipungkiri, bagi banyak siswa dan orangtua, momen wisuda dan perpisahan adalah lambang pencapaian dan titik balik kehidupan. Ini bukan hanya soal naik kelas atau kelulusan, tetapi soal penghargaan atas perjuangan dan kenangan yang terbentuk selama bertahun-tahun.
Psikolog pendidikan, Vera Itabiliana Hadiwidjojo, menjelaskan bahwa momen simbolik seperti wisuda mampu meningkatkan rasa percaya diri siswa. "Itu bagian dari validasi emosional dan pengakuan sosial, yang penting bagi perkembangan remaja," ujarnya kepada Kompas.com (2022).
Namun, apakah nilai emosional itu harus selalu dibayar mahal?
Realitas: Biaya yang Tak Sedikit
Fakta menunjukkan, biaya wisuda tak jarang membebani orangtua. Berdasarkan survei Litbang Kompas (2023), sekitar 47% orangtua di daerah perkotaan menyatakan keberatan dengan biaya wisuda anak mereka, yang berkisar antara Rp300 ribu hingga lebih dari Rp1 juta. Di beberapa sekolah swasta atau favorit, angka itu bisa jauh lebih tinggi.
Ini belum termasuk biaya baju seragam khusus, sewa fotografer, transportasi, dan konsumsi. Untuk keluarga menengah ke bawah, acara ini bukan lagi momen bahagia, tapi sumber stres dan tekanan sosial.
Padahal, esensi pendidikan bukan terletak pada kemewahan acara penutup, melainkan pada nilai dan proses yang dijalani.