"Nadyan mung janganan lodeh, nek maido nggowo berkah, luwih becik tinimbang mangan enak ning nglarani ati.”
(Meskipun cuma sayur lodeh, jika membawa berkah, lebih baik daripada makanan mewah yang melukai hati.)
"Jangan atau janganan" itu bahasa jawa yang artinya sayur.
Kalau kamu pikir sayur lodeh itu cuma menu rumahan yang sederhana, tunggu dulu. Siapa sangka, makanan berkuah santan ini ternyata menyimpan jejak sejarah panjang, bahkan dipercaya sejak abad ke-10 sebagai “makanan penolak bala” di tanah Jawa.
Lodeh dan Sejarahnya yang Tua
Menurut penelusuran budayawan Jawa, makanan berkuah santan ini sudah dikenal sejak masa Mataram Kuno, sekitar abad ke-10. Profesor Bambang Haryanto, dosen sejarah Universitas Sanata Dharma, pernah menyebutkan bahwa kuliner lodeh sudah ada sejak zaman kerajaan Hindu-Buddha di Jawa.
“Sayur lodeh bukan sekadar makanan, tetapi bagian dari narasi budaya dan spiritual masyarakat Jawa,” ujarnya dalam seminar budaya di Yogyakarta (2023).
Lodeh menjadi simbol keseimbangan alam. Kombinasi bahan-bahan seperti labu, terong, kacang panjang, hingga tempe dan tahu, mencerminkan filosofi kebersamaan dalam perbedaan, gotong royong rasa dalam sepiring kuah.
Filosofi Lodeh Sebagai Ruwatan: Tolak Bala Lewat Dapur
Ada tradisi unik di beberapa desa Jawa Tengah dan DIY, di mana masyarakat memasak lodeh dalam ritual “Tolak Bala.” Biasanya dilakukan saat munculnya gejala pagebluk, gempa, atau bencana alam. Mereka memasak “Sayur Lodeh Tujuh Warna” yang dipercaya punya kekuatan spiritual.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!