Mohon tunggu...
Johar Dwiaji Putra
Johar Dwiaji Putra Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai

Alumni Ilmu Komunikasi. PNS dan staf Humas.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Antara Aku, Turbulensi, dan QZ8501

14 Januari 2015   18:40 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:09 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lebih dari dua minggu sudah, tragedi Airasia terjadi. Pesawat yang harusnya mengantarkan penumpang dari Surabaya ke Singapura, ternyata mendarat di tempat yang tak seharusnya. Kenyataan pahit pun harus ditelan bulat-bulat. Tatkala pesawat yang mestinya mendarat mulus di bandara Changi itu, malah naas di lautan Selat Karimata.

Sejak akhir tahun 2014, media bertubi-tubi mengulas kecelakaan yang menimpa pesawat Airasia bernomer QZ8501. Kode ini kemudian menjadi begitu populer. Mengalahkan kode MH370 dan MH17. Dua kode penerbangan yang dimiliki dua pesawat naas milik Malaysia Airlines.

Berita terbaru, tim gabungan yang dipimpin Basarnas, berhasil mengangkat bagian ekor dari pesawat keluaran Airbus itu. Bagian ekor yang aku dengar di media, beratnya sampai 10 ton sendiri. Malah, komponen penting yang berupa blackbox, juga telah berhasil ditemukan dan diamankan.

Tentunya hal ini menjadi prestasi besar bagi Basarnas, TNI, dan segenap tim pendukung lainnya. Mengingat medan jatuhnya pesawat amatlah sulit. Di tengah laut, dengan kedalaman yang lumayan, dan cuaca yang tak selalu bersahabat.

Tetapi kemudian, timbul kegelisahan yang mungkin perlahan menggelayuti para keluarga korban. Para keluarga penumpang QZ8501 yang hampir dipastikan semuanya tak ada yang selamat. Setelah ditemukannya blackbox, ada desas-desus bahwa pencarian korban akan dihentikan.

Namun buru-buru isu itu ditepis oleh kepala Basarnas, Pak Sulistyo. Pencarian korban akan tetap dilakukan. Tetapi dalam skala operasi harian, oleh tim Basarnas sendiri. Yang mungkin tak lagi melibatkan pihak lain untuk mengevakuasi korban yang masih terjebak di dasar laut.

***

Tragedi Airasia QZ8501 ini, terasa berbeda bagiku. Diantara ratusan orang yang terdaftar dalam manifes penumpang, terdapat satu orang yang kukenal. Dan setelah kuikuti perkembangan evakuasi terhadap korban selama dua minggu ini, orang tersebut tak termasuk ke dalam 36 jenazah yang berhasil diidentifikasi oleh tim DVI.

Ya. Ada satu orang yang kukenal, yang menumpang di pesawat naas itu. Beliau adalah Pak Bundi. Kudengar, ia dan keluarganya hendak berlibur ke Singapura. Aku pernah satu kantor dengan Pak Bundi. Meski sekarang, aku tak lagi berada di kantor yang sama dengannya.

Di hari hilangnya pesawat QZ8501 atau 28 Desember 2014 lalu, pertama kudapat info bahwa Pak Bundi menaiki pesawai itu, dari recent updates di kontak BBM-ku. Teman-teman di kantorku yang lama, banyak yang menulis status #prayforQZ8501. Kemudian diikuti dengan doa khusus, agar Pak Bundi dan keluarga mendapat keajaiban.

Aku sungguh tergeragap. Sontak perhatianku langsung tertuju pada daftar manifes penumpang yang ditayangkan oleh teve. Dan benar, aku menemukan namanya diantara 155 penumpang tersebut.

Lantas, memori terkait Pak Bundi menyeruak seketika. Jujur, sepanjang aku bekerja di kantor yang lama, aku nyaris tak pernah berinteraksi langsung dengannya. Karena ia berada di divisi yang berbeda dengan divisi tempatku bekerja kala itu. Kami hanya pernah bertatap muka saat diadakan meeting antar divisi. Ketika ada project atau pekerjaan yang mengharuskan kerjasama antardivisi.

Hanya itu, kenanganku dengan Pak Bundi.

Sekarang, aku cuma bisa mendoakan yang terbaik untuknya dan keluarganya. Berharap jenazahnya ditemukan dan bisa dikebumikan dengan baik.

***

Mati, memang pasti datang. Semua makhluk hidup akan mengalami fase itu. Tak ada yang tahu, kapan peristiwa itu akan datang. Juga, tak ada yang mampu menebak. Bagaimana, dengan keadaan seperti apa, peristiwa mati akan menghampiri kita.

Seperti musibah yang terjadi pada QZ8501, aku ingin berbagi cerita mengenai pengalaman ketika menggunakan pesawat sebagai alat transportasi. Peristiwa ini kualami di bulan April 2014 lalu. Kala itu aku sedang ada urusan, yang membuatku menumpang sebuah pesawat low cost carrier (LCC) dari Soekarno Hatta, ke Malang.

Hari itu hari Sabtu, kurasa kursi penumpang dalam kabin nyaris penuh. Pesawat take off dengan mulus meninggalkan Jakarta dan menuju Malang. Selama perjalanan, aku menikmati sajian snack dari kru. Diiringi cuaca mendung yang mendominasi pandangan yang kutangkap dari jendela. Ya. Meski sudah April, musin hujan seolah hendak menghabiskan stok mendung dan air hujan yang dimilikinya.

Kurasa penerbangan akan berakhir kurang dari setengah jam lagi. Aku sudah bersiap-siap dan memasang seat belt dengan kencang. Namun tiba-tiba dari pengeras suara, pilot mengumumkan keadaan yang cukup mengagetkan.

Di sekitar bandara Abdul Rahman Saleh, Malang, sedang terjadi cuaca yang sangat tak bersahabat. Hujan lebat, petir menyambar-nyambar, dan angin yang berhembus cukup kencang. Pilot memutuskan untuk menjauhi area bandara. Berputar-putar diatas udara kota Malang, sambil menunggu cuaca lebih bersahabat.

Namun setelah lebih dari setengah jam, cuaca tak kunjung membaik. Melalui pengeras suara, pilot memutuskan untuk mendaratkan pesawat di bandara Juanda, Surabaya. Atau bandara Ngurah Rai, Denpasar.

Ahh.... alam memang tak bisa dilawan. Tetapi kemudian, pilot lebih memilih mendaratkan pesawat di Juanda. Saat menuju Juanda, pesawat mengalami turbulensi. Aku ketar-ketir bukan main. Bahkan, ini adalah turbulensi TERKUAT dan TERLAMA, yang pernah kualami sepanjang pengalamanku menaiki pesawat. Kulihat di jendela. Mendung abu-abu gelap begitu pekat. Aku memegangi handle kursi dengan kuat.

Alhamdulillah..... akhirnya pesawat mendarat dengan mulus di Juanda, Surabaya.

Lalu, bagaimana selanjutnya? Seluruh penumpang pesawatku ‘kan hendak ke Malang, bukan Surabaya? Aku dan penumpang lainnya sempat terkatung-katung hampir dua jam di salah satu terminal bandara Juanda.

Aku sempat sebal. Aku dan penumpang lainnya tak mendapat snack atau apa gitu, untuk menunggu kepastian dari petugas maskapai. Namun kemudian, pihak maskapai telah menyediakan tiga bus yang mungkin diambil dari terminal Bungurasih, untuk mengangkut kami ke Malang.

Lengkap sudah. Aku yang harusnya maksimal jam dua siang sudah sampai di Malang. Ehh.... jam tujuh malam, baru sampai terminal Arjosari, Malang. Menggunakan bus dari bandara Juanda.

***

Tetapi setelah terjadinya musibah QZ8501, aku tak lagi mengutuki peristiwa yang kualami di bulan April 2014 itu. Aku harus BERSYUKUR. Rupanya Allah masih memberiku waktu untuk bernapas di bumi ini.

Sekarang, aku tak lagi memaki pak pilot yang mengemudikan pesawatku kala itu. Malah, aku harus berterima kasih. Karena dengan keputusannya, pesawat tetap dapat mendarat dengan selamat. Meski bukan di bandara yang jadi tujuan utama. Ya. Mungkin jika pilot tetap memaksa mendaratkan pesawat di Abdul Rahman Saleh, ceritanya akan berbeda.

Kutarik lagi sumpah serapahku di bulan April 2014 itu. Astaghfirullah........

Alam memang tak bisa dilawan. Satu-satunya cara, adalah dengan beradaptasi dan menyelaraskan diri dengan alam. Dengan kejadian QZ8501 ini, aku jadi lebih bertawakal ketika menaiki pesawat. Dan terutama LEBIH MENGHORMATI kru. Terutama kepada pilot. Karena ditangannya lah, keselamatan penumpang dipertaruhkan.

TERIMA KASIH untuk pak pilot dan segenap kru, di sebuah pesawat low cost carrier yang kugunakan di April 2014 itu....... Maafkan, kekhilafan dan kedangkalanku kemarin. Semoga pak pilot dan kru dalam lindungan Allah SWT selalu. Amin.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun