Mohon tunggu...
Roneva Sihombing
Roneva Sihombing Mohon Tunggu... Guru - pendidik

Penyuka kopi, gerimis juga aroma tanah yang menyertainya. Email: nev.sihombing@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Semestaku

17 Februari 2020   01:23 Diperbarui: 17 Februari 2020   01:43 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Matahari pagi memasuki kamarku. Cahayanya dalam pendar-pendar memanjang hingga ke lantai kamarku memenuhi ruang kosong yang ada. Lantai kamarku yang terbuat dari kayu. 

Tampak percikan cahaya mungil membentuk jalan pelangi lembut di udara, dari luar menuju ke kamarku. Aku menggeliat malas. Merentangkan kedua lenganku sejauh yang sanggup terjangkau. 

Masih dengan mata yang terpejam rapat, aku tersenyum kepada langit. Kehangatan pagi yang mencoba memenuhi ruang kosong tersisa di udara karena kelabunya langit masih menjejak di awal musim dingin ini.

Angin pagi berhembus lembut. Menerpa wajahku. Dingin. Aku merasai gigiku gemelutuk menahan dingin yang menerpa. Aku melihat pepohonan yang mulai ditinggalkan dedaunan. Pepohonan di sebelah tenggara sana semakin marak dengan ranting-ranting tanpa daun yang juga berjuang menahan udara dingin yang semakin hari semakin merontokkan sisa-sisa musim panas yang hendak menyambut angkuhnya musim gugur. 

Dedaunan berubah warna. Menjadi coklat. Merah. Jingga. Sebelum kemudian lelah menahan gigil dan tanggal menuju permukaan bumi. Peristiwa ini seperti kejadian magis yang tidak bisa ditahan oleh siapapun. Tidak oleh langit. Tidak oleh akar. Terutama juga tidak oleh pohon itu sendiri. Indah namun menyakitkan. Menakjubkan namun kelu.

***

Aku merindukannya. Merindukan langit dingin yang membuatku gemetar nyaris tak berhenti. Merindukan udara beku yang menusuk-nusuk tubuh karena tekanan udara yang jatuh melampaui nol derajat. Rasa sakit yang meraja di tubuhku yang membuatku menginginkannya menyelimuti tubuhku sekalipun membuatku menderita.

Aku merindukannya. Merindukan warna-warni dedaunan pada ranting yang mengering. Merindukan lambaian terakhir dedaunan coklat sambil menyenandungkan lagu tentang pertemuan. 

Tentang akan berjumpa lagi di dua musim mendatang. Tentang rindu yang akan dilisankan dan dibahasakan lewat pelukan hangat yang taklukkan dingin dalam bentuk apapun.

Aku merindukannya. Air-air yang bergerak menjadi sangat lambat. Sungai-sungai yang berhenti mengalir dan mulai membeku. Kehidupan permukaan air yang mulai berhenti dan tidak menghentikan anomali di bagian bawah air. Kehidupan terus bergerak di bawah sana sekalipun kupu-kupu sudah tidak terbang lagi di permukaan air.

Aku merindukannya. Awan-awan yang menggantung rendah semakin hari semakin berwarna kelabu. Seolah-olah setiap tetes hujan melakukan pertemuan sangat besar. Air-air membeku berayun-ayun di rumput kering. Dan siutan angin sunyi yang melintasi musim panas menuju musim gugur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun