Kekerasan seksual terhadap anak kembali terjadi, bahkan kali ini dilakukan oleh guru yang notabene adalah ujung tombak pendidikan bangsa. Hanya dalam hitungan hari, sejumlah kasus pedofilia kelas berat terungkap ke publik. Yang terparah dilakukan WS, alias Babeh yang menyodomi 41 anak di Tangerang, Banten.
Meski para korban telah mendapatkan pemulihan trauma dan pendampingan dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), namun kerugian yang diderita anak korban pedofilia tidak dapat diukur dengan materi. Pasalnya, anak akan mengalami trauma yang berkepanjangan. Kasus pedofilia akan berdampak pada rusaknya tatanan kehidupan karena yang menjadi korban adalah generasi penerus bangsa. Untuk itu, sudah sepantasnya pelaku pedofilia diganjar hukuman dengan sanksi yang berat.
Lantas, apa yang bisa kita lakukan menghadapi kondisi ini? Sebagai orang tua, pengawasan harus dilakukan lebih ketat. Kejahatan seksual pada anak bisa terjadi kapanpun dan di manapun. Orangtua harus menanamkan aspek keimanan kepada anak-anak, pemahaman mereka terhadap aturan Allah serta lebih memperhatikan lingkungan bermain anak untuk menjauhkan dari predator anak.Â
Hakikatnya, tidak cukup hanya mengandalkan orangtua saja, tapi juga harus berkesinambungan dengan adanya kontrol sosial di lingkungan masyarakat, dan terutama negara. Pemerintah harus bersikap tegas dalam menangani kasus seperti ini mencakup pengawasan terhadap pengaruh media, edukasi melalui sistem pendidikan dan sanksi hukum. Karena mau seketat apapun penjagaan orangtua kepada anak jika aparatur negara tidak sigap terhadap predator anak tetap akan memberi kesempatan kepada para predator untuk melakukan aksinya.