Mohon tunggu...
Nesosmedia
Nesosmedia Mohon Tunggu... Penulis - Ruang Bumi Nusantara

Media ini sebagai wadah menampung dan menyambung ide dan gagasan tentang isi dari bumi Indonesia 🇮🇩.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Virus Corona Trending Topic, Negara Jangan Terlalu Panik

20 Maret 2020   23:35 Diperbarui: 20 Maret 2020   23:50 697
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apakah Lock Down Sebagai Solusi ?
Indonesia telah memiliki Undang-Undang (UU) Nomor 6 tahun 2018 tentang Karantina. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi sebelum pemerintah menetapkan status darurat kesehatan nasional dan memberlakukan karantina.

Ada beberapa macam karantina menurut UU No. 6 tahun 2018. Ada karantina rumah, karantina rumah sakit, hingga karantina wilayah. Pasal 50, 51 dan 52 UU Nomor 6 tahun 2018 mengatur tentang karantina rumah. Ini dilakukan hanya kalau kedaruratannya terjadi di satu rumah.

Karantina ini meliputi orang, rumah, dan alat angkut yang dipakai. Orang yg dikarantina tidak boleh keluar rumah, tapi kebutuhan mereka dijamin negara. Pasal 53, 54, dan 55 bicara tentang karantina wilayah. Inilah yang disebut lockdown. Syaratnya, harus ada penyebaran penyakit di antara masyarakat sehingga harus dilakukan penutupan wilayah untuk menangani wabah tersebut. (Sumber : kata data.co.id)

Sejauh ini pemerintah berupaya melakukan penguncian atau lock down sebagai langkah untuk menutup ruang masuknya seseorang yang dianggap terdeteksi virus yang dianggap sangat mudah menyebar. Hal ini pun menuai pro kontra oleh kalangan nitizen jadi perbincangan sengit. 

Saat ini misalkan hampir seluruh sektor pendidikan di Indonesia salahsatunya di perguruan tinggi kampus di Kaltim, Samarinda, UNMUL, UWGM, UMKT dll diliburkan dengan alternatif kuliah melalui sistem online yang kurang siap secara teknis. Yang jadi pertanyaan saat ini mengapa hanya sektor pendidikan saja?

Lebih jauh daripada itu seharusnya ada titik tertentu untuk dilakukan lockdown. Contohnya bisa memastikan lockdown tempat hiburan malam (THM), menutup tempat pariwisata, menutup bandara sementara waktu dll dan itu tidak cukup jika yang selama ini hanya dilakukan dengan pemberitahuan saja, mestinya sudah memikirkan bagaimana cara yang strategis membatasi aktivitas diruang tertentu dengan mengeluatkan aturan atau kebijakan secara tertulis yang bersifat mengikat atau ada batasan tertentu guna tidak bebas-sebebasnya. Sebab kalau hanya sekedar pemberitahuan semata tidak akan memberikan efek apapun.

Selain lockdown misalkan, bisa memilih opsi tes COVID-19 secara massal yang menyentuh keseluruh lapisan masyarakat, dari masyarakat kota hingga masyarakat desa.

Lalu mengapa hanya disektor pendidikan saja yang diliburkan? Kenapa tidak sektor buruh juga diliburkan ? Seharusnya kalau berbicara soal kesehatan, buruh bukanlah robot yang kebal terhadap virus. Dalam hal ini negara seharusnya hadir untuk segera melindungi dan menjaga kesehatan juga keselamatan bagi para buruh.

Untuk apa berbicara meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang bagus, tapi kalau nyawa kemanusiaan tidak diperhitungkan. Meskipun pertimbangan untuk mengambil keputusan bahwa meliburkan sektor buruh, maka konsekuensilogis yang diterima ialah kemiskinan yang semakin mendalam dan kelaparan yang merajalela. Sebab bahan konsumsi tidak lagi bisa diproduksi, karena buruh mogok, dan alat produksi hancur, kapitalisme akan tumbang pada waktunya.

Dan langkah seperti itu sangatlah mustahil untuk diambil oleh rezim, kecuali kesadaran tingkat maju soal kesadaran politik buruh sudah mumpuni yang didorong oleh mahasiswa sebagai kaum pelopor dan intelektual dalam mengorganisir buruh juga memberikan edukasi soal tuntutan hak buruh itu sendiri. Contohnya menuntut hak atas upah, hak atas cuti, haid, melahirkan, menghapuskan sistem kerja outsourching sebelah pihak, serta perlindungan terhadap kaum buruh yang harusnya dijamin oleh negara.

Pemerintah Segera Batalkan Pembahasan Ruu Omnimbus Law Saat Paripurna Tanggal 23 April 2020 nanti.
Kondisi telah berubah, hari ini kita telah dihadapkan pada situasi yang mendesak. Sekalipun RUU Omnimbus Law dibahas pada Paripurna itupun percuma kalau tidak melibatkan rakyat secara demokratis dengan cara yang lebih tertutup juga tidak adanya partisipasi masyarakat umum seperti yang termaktub dalam Pasal 96 Undang-Undang 12 Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang dimana masyarakat berhak memberikan masukan dalam membentuk suatu peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini bisa saja adanya moment celah yang dimanfaatkan untuk mengesahkan RUU Omnimbus Law menjadi bentuk UU, dengan alih-alih atau pembahasan yang diatur secara diam-diam yang tidak transparan. Oleh karena itu pemerintah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun