Nusa Tenggara Timur (NTT) kembali disebut sebagai salah satu dari lima provinsi termiskin di Indonesia. Sebuah predikat yang, sayangnya, lebih konsisten dari janji-janji pembangunan yang datang silih berganti. Kali ini, Gubernur NTT Melki Laka Lena menggagas program besar: Rp500 juta per desa per tahun untuk melawan kemiskinan. Sebuah langkah berani, atau sekadar pengulangan pola lama dalam kemasan baru?
Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) di bawah kepemimpinan Gubernur Melki Laka Lena memulai gebrakan baru dengan meluncurkan program yang penulis beri nama "Satu Desa, Satu Produk Unggulan". Setiap desa terpilih akan mendapatkan alokasi dana sebesar Rp500 juta per tahun, bertujuan untuk mengembangkan potensi ekonomi lokal dan mengurangi angka kemiskinan.
Di tengah berbagai tantangan pembangunan di daerah, langkah ini patut diapresiasi. Kehadiran program berbasis penguatan desa menjadi harapan baru. Namun, seperti banyak kebijakan pembangunan lainnya, program ini juga perlu dikaji secara kritis agar benar-benar tepat sasaran, efektif, dan berkelanjutan.
Program ini direncanakan akan difokuskan terlebih dahulu pada 44 desa yang tersebar di 22 kabupaten di NTT. Jika dihitung secara sederhana, maka rata-rata terdapat dua desa dari setiap kabupaten yang akan menjadi sasaran awal implementasi program ini. Pemilihan desa-desa tersebut diharapkan dapat menjadi model percontohan sebelum program diperluas ke wilayah lainnya.
Melihat betapa pentingnya program ini, sekaligus dana yang dikucurkan pun tidak sedikit maka penulis berpendapat seperti ini:
Pertama, desa yang semestinya berhak menerima dana sebesar Rp500 juta adalah desa yang telah menunjukkan kemampuan dalam mengelola dana desa dengan baik, atau yang tercatat dalam dokumen pemerintah provinsi maupun kabupaten sebagai desa yang tepat sasaran dalam penggunaan dana tersebut.
Seperti desa yang mampu menggunakan dana desa untuk meningkatkan infrastruktur atau program pemberdayaan masyarakat secara efektif, seperti membangun fasilitas umum atau pengembangan UMKM, lebih diprioritaskan.Â
Dengan demikian, dana sebesar 500 juta ini tidak hanya akan digunakan untuk kegiatan yang tidak berdampak, tetapi akan memberikan hasil yang nyata bagi kesejahteraan warga desa.
Kedua, desa yang akan menerima dana sebesar 500 juta juga harus memiliki sumber daya manusia (SDM) yang memadai untuk mendukung pelaksanaan program. Misalnya, desa yang memiliki aparat desa atau masyarakat yang terlatih dalam pengelolaan proyek, serta memiliki keahlian dalam bidang usaha atau manajemen, akan lebih siap untuk mengimplementasikan program dengan baik. Tanpa SDM yang kompeten, program yang direncanakan bisa saja terhambat atau bahkan gagal, meskipun dana yang tersedia cukup besar.
Namun, syarat-syarat ini juga memungkinkan untuk menimbulkan dilema baru. Desa-desa yang sudah lebih maju dan mendekati kemandirian berpeluang lebih besar untuk menerima bantuan tersebut, sementara desa-desa tertinggal mustahil untuk mendapat karena keterbatasan SDM dan lemahnya rekam jejak pengelolaan dana, padahal status desa sebagai desa sangat tertinggal semestinya menjadi prioritas agar jangan menimbulkan ketimpangan baru atau menambah ketimpangan yang ada.