Jika kemudian sejarah mengenang Paus Fransiskus, mungkin ia tidak akan diingat karena dogma-dogma baru atau upacara megah di Basilika Santo Petrus, Vatikan. Ia akan diingat karena sesuatu yang lebih lembut, lebih dalam, dan lebih mendesak---suara kenabiannya yang berbicara demi bumi yang saat ini sedang terluka bahkan tercabik-cabik.
Salah satu warisan penting yang ditinggalkan oleh Paus Fransiskus adalah Laudato Si', ensiklik pertama dalam sejarah Gereja Katolik yang secara khusus membahas isu lingkungan hidup. Dokumen ini diterbitkan pada tahun 2015 dan menjadi tonggak penting dalam keterlibatan gereja terhadap krisis ekologis global.
Bagi saya pribadi, Laudato Si' merupakan salah satu karya Paus Fransiskus yang paling berpengaruh. Pesan dan seruannya melampaui batas-batas agama, menjangkau berbagai kalangan, mulai dari ilmuwan, aktivis, hingga pemimpin pemerintahan dan tokoh agama lintas iman termasuk saya sebagai seorang Kristen Protestan. Bahkan, Perserikatan Bangsa-Bangsa pun merespons positif isi dan pesan yang disampaikan dalam dokumen ini.
Lebih dari sekadar teks keagamaan atau ajaran gereja, Laudato Si' tampil sebagai panggilan moral bagi seluruh umat manusia. Ia mengajak semua orang, tanpa memandang latar belakang, untuk merenungkan tanggung jawab bersama dalam merawat bumi dan menciptakan keadilan ekologis.
Menurut kutipan dari New York Times, nama Laudato Si' yang berarti "Puji Bagi-Mu" diambil dari "Canticle of the Creatures," sebuah pujian karya Santo Fransiskus dari Assisi. Judul ini mencerminkan semangat kekaguman dan rasa syukur terhadap alam ciptaan.
Dari berbagai referensi yang saya baca, Santo Fransiskus dari Assisi dikenal luas sebagai sosok yang sangat mencintai alam dan hewan. Ia hidup dengan sederhana, menyuarakan perdamaian, dan menunjukkan kasih yang mendalam terhadap seluruh makhluk hidup---nilai-nilai yang sangat terasa dalam semangat Laudato Si'.
Paus Fransiskus menunjukkan cara pandangnya yang begitu revolusioner dalam Laudato Si': ia menyatukan isu lingkungan dengan keadilan sosial, moralitas, dan spiritualitas. Ini bukan hanya soal "menyelamatkan lingkungan", tapi juga soal menyelamatkan kemanusiaan dari keserakahan.
Dengan bahasa yang puitis namun sarat ketegasan moral, Paus Fransiskus dalam Laudato Si' menyampaikan ajakan mendalam kepada umat manusia. Ia mengingatkan kita untuk menghentikan cara pandang yang menjadikan bumi sekadar objek eksploitasi.
Sebaliknya, bumi harus kita pandang sebagai rumah bersama---tempat yang layak dirawat, dihargai, dan dilindungi. Seruan ini bukan hanya sebuah nasihat spiritual, tetapi juga panggilan etis untuk membangun relasi yang lebih adil dan harmonis dengan alam.