"Jangan sampai hari ini dilantik, besok ditetapkan tersangka."
Kalimat ini bukan ucapan seorang sastrawan, melainkan pernyataan lugas dari Bupati Timor Tengah Selatan (TTS), Eduard Markus Lioe, saat menanggapi kasus kerugian negara dari enam desa yang belum kunjung diselesaikan. Total kerugian? Rp741 juta lebih. Jumlah yang bisa membangun banyak hal jika dikelola dengan benar. Tapi sayangnya, dikelola oleh mereka yang tampaknya lebih cepat menghitung uang daripada menghitung tanggung jawab.
Yang mencengangkan, ini bukan satu dua kasus. Desa Olais, Oehan, Oebo, Oenino, Naip, dan Oe Ekam seperti sedang berlomba dalam "Festival Penyelewengan Dana". Bedanya, tidak ada hadiah bagi masyarakat, hanya kerugian dan rasa malu yang ditanggung bersama.
Jika kita menelisik masalah ini lebih jauh maka ada beberapa hal yang menjadi penyebab utama:
Pertama, Ketika Malas Menjadi Budaya
Entah sejak kapan, jabatan perangkat desa berubah dari alat pelayanan menjadi kursi empuk untuk rebahan dan menunggu gaji cair. Kantor desa seperti bangunan berhantu---pintunya ada, tapi jarang dibuka. Buku administrasi ada, tapi kosong. Ketika diajak rapat, jawabannya "tunggu perintah atasan." Tapi saat pencairan dana datang, mereka tiba lebih cepat dari bayangan.
Ironi terbesar di desa bukanlah kekurangan fasilitas, tapi kelebihan orang malas yang merasa dirinya penting. Perangkat desa sibuk menghadiri hajatan, tapi abai pada musyawarah pembangunan. Mereka cepat menandatangani SPJ, tapi lupa bahwa SPJ itu harus ada realisasi. Dan ketika masalah muncul, tiba-tiba semuanya "tidak tahu-menahu." Ajaib, bukan?
Kedua, Malas Belajar, Pintar Berdalih
Salah satu akar persoalan yang tak kalah pelik adalah keengganan belajar. Regulasi berubah? Tidak tahu. Tata kelola anggaran? Tidak paham. Tapi soal honor, mereka hafal sampai titik koma. Seolah-olah, mereka direkrut bukan untuk berpikir dan bekerja, tapi hanya untuk mendengar dan ikut-ikutan.