Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai kepala desa di Kabupaten Timor Tengah Selatan dinonaktifkan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) sebagai konsekuensi dari pengelolaan dana desa yang dianggap tidak sesuai prosedur. Tapi benarkah langkah ini menyelesaikan persoalan? Ataukah justru memperpanjang rantai masalah yang tak kunjung putus?
Saya baru saja mendapat informasi bahwa, di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur, beberapa kepala desa akhirnya kembali mendapat surat undangan untuk pelantikan setelah sebelumnya dinonaktifkan oleh pemerintah daerah. Mereka dinonaktifkan karena mengalami keterlambatan dalam menyampaikan laporan pertanggungjawaban Dana Desa, yang berdampak pada tidak dicairkannya dana desa tahun berikutnya ke desa masing-masing. Meskipun mereka kini dilantik kembali, peristiwa ini menyisakan luka dan pertanyaan: benarkah penonaktifan kepala desa menjadi solusi atas persoalan pengelolaan Dana Desa?
Kasus ini bukan hal yang langka atau baru terjadi. Di TTS, kepala desa terpaksa harus diberhentikan sementara akibat administrasi atau pengelolaan keuangan yang dianggap tidak tertib dan tidak sesuai prosedur. Sekilas, tindakan ini tampak tegas dan sejalan dengan semangat akuntabilitas. Namun bila dicermati lebih dalam, pendekatan semacam ini lebih menyerupai solusi praktis yang gagal menyentuh akar persoalan sebenarnya:Â sistem pengelolaan dana desa yang masih rapuh dan sumber daya manusia perangkat desa yang belum sepenuhnya siap.
Kepala Desa Sebagai Penguasa Anggaran, Tapi Bukan Satu-satunya Pengelola
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menempatkan kepala desa sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan desa. Namun, pelaksanaannya tidak dilakukan sendiri. Perangkat desa, khususnya sekretaris desa (sekdes), memegang peran penting dalam administrasi dan pelaporan keuangan. Dalam struktur ini, tanggung jawab seharusnya dibagi berdasarkan fungsi, bukan ditumpukkan pada satu orang.
Faktanya, dalam banyak kasus seperti yang terjadi di TTS, kendala pelaporan keuangan lebih disebabkan oleh lemahnya kapasitas administrasi dari perangkat desa. Bukan karena niat menyalahgunakan dana, ada beberapa karena ketidaksiapan teknis, ada yang karena perubahan regulasi, dan bukan tidak mungkin ada keterbatasan pendampingan.
Bila kemudian kepala desa dijadikan kambing hitam dari kegagalan sistemik ini, kita sedang melanggengkan ketidakadilan administratif. Penonaktifan kepala desa bukan hanya tidak menyelesaikan masalah, tetapi menambah masalah baru: terganggunya pelayanan, terhambatnya pembangunan, hingga hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem.
Penonaktifan: Langkah Cepat yang Mengabaikan Dampak Jangka Panjang
Langkah penonaktifan memang terlihat "tegas". Tapi ketegasan tanpa keadilan justru merusak kepercayaan publik. Ketika kepala desa dinonaktifkan tanpa proses pembinaan yang jelas, masyarakat desa kehilangan pemimpin, dan pemerintahan desa terhambat. Program pembangunan bisa stagnan, dan pelayanan dasar terganggu karena roda pemerintahan tidak berjalan normal.
Di sisi lain, efek psikologis dari penonaktifan juga tidak kecil. Banyak kepala desa yang kemudian menjadi terlalu berhati-hati, bahkan enggan menyerap anggaran karena takut salah administrasi. Bukannya memajukan desa, mereka memilih tidak menggunakan dana demi menghindari risiko. Hal ini ironis, mengingat tujuan utama Dana Desa adalah untuk memberdayakan dan memajukan masyarakat desa.