Presiden Prabowo tampil percaya diri dalam wawancara maraton bersama tujuh jurnalis senior, menawarkan serangkaian janji besar untuk masa depan Indonesia. Namun di balik retorika penuh optimisme, terselip kegelisahan akan arah demokrasi dan ruang sipil. Janji jutaan lapangan kerja dan program sosial berskala nasional terdengar menjanjikan, tapi benarkah semua itu dibangun di atas perencanaan matang? Ataukah hanya mimpi besar yang dibungkus retorika populis?
Wawancara selama tiga jam antara Presiden Prabowo Subianto dan tujuh jurnalis senior yang disiarkan luas ke publik menyisakan kesan yang bercampur aduk. Di satu sisi, ia memperlihatkan semangat tinggi dalam menawarkan visi pembangunan nasional melalui proyek-proyek ambisius. Namun di sisi lain, wawancara ini juga memperjelas kegelisahan publik akan sikap Prabowo terhadap gerakan masyarakat sipil dan kecenderungannya mencurigai kritik sebagai ancaman, bukan sebagai koreksi yang sehat bagi demokrasi.
Presiden Prabowo berkali-kali menegaskan bahwa segala rencana dan langkahnya berangkat dari niat baik untuk membangun Indonesia. Tetapi niat baik tak akan cukup tanpa dibarengi prasangka baik terhadap mereka yang berbeda pandangan. Ketika masyarakat sipil menyuarakan kritik, demonstrasi, dan aktivisme, Presiden justru meresponsnya dengan kecurigaan, menyebutnya sebagai "agenda asing" atau massa bayaran. Bahkan dalam isu bocornya draf RUU TNI, alih-alih melihatnya sebagai kegagalan dalam proses legislasi yang transparan, Prabowo justru memilih menuduh adanya "draf palsu" tanpa mengakui kebutuhan mendesak akan keterbukaan dalam penyusunan undang-undang. Sikap seperti ini tidak hanya gagal menyentuh akar persoalan, tapi juga menutup ruang diskusi publik yang sehat dan konstruktif.
Salah satu bagian yang menjadi sorotan adalah janji-janji besar penciptaan jutaan lapangan kerja lewat program Danantara, Makan Bergizi Gratis (MBG), pembangunan tiga juta rumah per tahun, dan koperasi Merah Putih. Secara hitungan politik, janji ini sangat menggiurkan. Danantara, misalnya, ditargetkan akan membuka delapan juta lapangan kerja dengan modal awal 300 triliun rupiah. Namun, berdasarkan data investasi tahun 2023 di Indonesia, satu triliun rupiah hanya mampu menciptakan rata-rata 1.285 lapangan kerja. Jika dihitung secara realistis, maka Danantara hanya akan menghasilkan sekitar 385 ribu lapangan kerja --- angka yang sangat jauh dari target delapan juta. Ketimpangan antara retorika dan kenyataan ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah pemerintah sedang menjual mimpi tanpa rencana konkret?
Lebih lanjut, Danantara adalah industri padat modal, yang secara alami akan lebih menguntungkan pemilik modal besar, investor asing, dan korporasi daripada masyarakat pekerja biasa. Industri jenis ini menciptakan lebih sedikit lapangan kerja dibanding industri padat karya, namun keuntungannya berlipat-lipat bagi mereka yang berada di puncak rantai ekonomi. Dalam situasi ketimpangan sosial yang masih tinggi, kebijakan yang terlalu bergantung pada modal besar tanpa memperhatikan dampak sosial justru dapat memperdalam jurang ketidakadilan.
Program Makan Bergizi Gratis juga tak luput dari perhatian. Program ini digadang-gadang bisa menurunkan angka kemiskinan dari sembilan persen menjadi lima persen, memperkecil ketimpangan sosial hingga 4,8 persen, dan membuka tiga juta lapangan kerja. Sekilas, program ini tampak seperti "tongkat sihir" yang bisa menyelesaikan segala persoalan sosial dan ekonomi dalam satu langkah. Namun kehidupan nyata tidak semudah menjentikkan jari seperti Thanos. Ada tantangan besar yang harus dihadapi, mulai dari kualitas bahan pangan, penyusunan menu bergizi yang sesuai kebutuhan anak-anak, hingga sistem distribusi logistik ke seluruh pelosok negeri. Infrastruktur kita belum sepenuhnya siap untuk beban logistik sebesar itu, dan tanpa perencanaan detail serta eksekusi yang matang, program ini berisiko menjadi proyek besar yang boros, tetapi tidak berdampak signifikan.
Lebih problematis lagi adalah kebijakan ekonomi yang menyertai program ini. Rencana pemerintah untuk mencabut kewajiban Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan membuka keran impor tanpa kuota bisa memukul keras petani lokal dan pelaku industri kecil yang seharusnya menjadi tulang punggung program MBG. Jika bahan pangan untuk MBG lebih banyak diimpor, maka tujuan program untuk memberdayakan rakyat justru akan berbalik arah: memperkaya negara eksportir dan menyingkirkan pelaku produksi domestik dari rantai pasok nasional. Dalam logika semacam ini, rakyat tak lagi menjadi subjek pembangunan, melainkan sekadar konsumen dari proyek negara.
Salah satu kontradiksi paling tajam dalam wawancara tersebut adalah sikap inkonsisten Presiden dalam melihat niat baik. Ketika membela keterlibatan Thaksin Shinawatra --- mantan Perdana Menteri Thailand yang terjerat kasus korupsi --- dalam proyek Danantara, Prabowo justru tampil permisif. Ia mengatakan bahwa yang terpenting adalah niat baik. Namun, standar serupa tidak ia berikan kepada gerakan masyarakat sipil di dalam negeri. Kritik dari masyarakat sendiri tidak dilihat sebagai bagian dari niat baik membangun bangsa, melainkan dicurigai sebagai upaya sabotase dari pihak asing. Standar ganda ini mengkhawatirkan. Ia menunjukkan kecenderungan untuk memihak pada kepentingan elite, sekaligus menutup telinga terhadap suara dari bawah.
Kita tidak bisa mengabaikan bahwa demokrasi bukan sekadar soal memenangkan pemilu, tetapi juga tentang memelihara ruang-ruang dialog, menerima kritik, dan menjamin kebebasan berpendapat. Presiden Prabowo harus memahami bahwa masyarakat sipil bukan musuh negara. Mereka adalah mitra kritis yang punya tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa negara berjalan di rel yang benar. Memusuhi mereka sama saja dengan memusuhi mekanisme koreksi yang menjadi ciri khas negara demokrasi.
Wawancara ini seharusnya menjadi pelajaran penting, bukan hanya bagi Presiden Prabowo tetapi juga bagi publik. Kita diajak untuk lebih jeli dalam menimbang antara janji dan kenyataan, antara niat baik dan kebijakan konkret, antara optimisme dan akal sehat. Tidak ada yang salah dengan mimpi besar, tetapi mimpi besar harus disertai kerja teknokratis yang rinci dan keterbukaan terhadap kritik. Kita membutuhkan pemimpin yang tidak hanya berbicara tentang pembangunan fisik, tetapi juga tentang pembangunan cara berpikir. Pemimpin yang tidak hanya memupuk harapan, tapi juga membangun kepercayaan dengan mendengarkan suara rakyat, termasuk mereka yang berseberangan.